Mengetuk Pintu Sunyi
Pernahkah kamu menulis dengan penuh semangat, hanya untuk mendapati nol komentar dan satu view yang kamu yakin itu pun dari dirimu sendiri? Itulah awal mula saya mengenal sepi. Bukan sepi karena tak punya ide, tapi sepi karena tak ada yang menyapa balik.
Menulis di Kompasiana bagi saya seperti mengetuk pintu-pintu rumah tetangga di kota besar: tidak semua membukakan pintu, tidak semua mendengar. Tapi tetap saya ketuk, karena saya percaya, suatu hari akan ada yang mendengar.
Mengapa Tetap Menulis?
Sederhana. Karena menulis adalah napas kedua saya. Di balik kesibukan sebagai konsultan IT dan aktivitas harian, Kompasiana menjadi ruang teduh. Tempat menata ulang logika, menuangkan kegelisahan, dan berbagi sudut pandang.
Dan ketika satu komentar hadir---meski hanya satu---rasanya seperti diberi segelas air di tengah padang. Segar, tulus, dan penuh arti.
Bukan Sekadar Viral
Godaan terbesar di Kompasiana adalah mengejar angka. View, like, atau ranking K-Rewards. Tapi kalau hanya itu tujuannya, maka menulis akan terasa seperti lomba tanpa garis akhir. Saya pernah jatuh ke jurang itu: mengecek views berkali-kali, membandingkan artikel sendiri dengan milik orang lain. Ujungnya? Lelah dan kehilangan arah.
Lalu saya belajar. Bahwa yang perlu dikejar bukan viral, tapi value. Apakah tulisan ini menyalakan lampu di kepala orang lain? Apakah satu paragraf darinya bisa menyembuhkan, menguatkan, atau membuat orang tertawa sejenak?
Jam Emas untuk Tulisanmu
Setelah beberapa bulan bereksperimen, saya menemukan bahwa waktu tayang sangat memengaruhi nasib sebuah tulisan. Berikut hasil pengamatan pribadi: