Siapa yang Bertanggung Jawab Jika AI Melakukan Kesalahan?
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah merambah hampir seluruh aspek kehidupan: dari layanan pelanggan, mobil otonom, hingga sistem pengambilan keputusan dalam dunia keuangan dan medis. Namun, satu pertanyaan mendasar kian mengemuka: siapa yang bertanggung jawab jika AI melakukan kesalahan?
Misalnya, ketika mobil otonom menabrak pejalan kaki, atau algoritma AI menolak pengajuan pinjaman seseorang secara diskriminatif — apakah yang disalahkan adalah pembuat algoritma, perusahaan penyedia teknologi, atau pengguna?
Aspek Hukum: Celah yang Belum Jelas
Dalam hukum positif, banyak negara belum memiliki regulasi yang eksplisit mengenai tanggung jawab AI. Ketika sistem AI menyebabkan kerugian, pengacara kerap mencari pihak yang paling dekat dengan kendali sistem: pengembang, perusahaan pemilik, atau pihak operator.
Namun, tidak jarang tanggung jawab menjadi bola panas yang saling dilempar. Hal ini memunculkan kebutuhan mendesak akan kerangka hukum yang adil dan adaptif terhadap teknologi.
Tinjauan Etika dan Syariat Islam
Dalam perspektif syariat Islam, prinsip tanggung jawab (mas'uliyyah) sangat penting. Al-Qur'an menegaskan bahwa setiap manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka, dalam konteks AI, manusia tetap menjadi aktor utama: baik sebagai pengembang, pengguna, maupun regulator.
AI adalah alat, bukan makhluk yang memiliki beban syariat. Maka, kesalahan AI tetap bermuara pada siapa yang mengendalikan dan mengambil keputusan untuk menggunakan teknologi tersebut.
Tanggung Jawab Kolektif: Solusi Masa Depan?
Sebagian pakar teknologi mengusulkan pendekatan tanggung jawab kolektif: mulai dari desain yang etis, audit independen terhadap algoritma, hingga pelatihan pengguna dalam memahami risiko AI.