Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Program Televisi "Dikemas Alay" dan Minim Nilai Edukasi

30 Maret 2018   02:53 Diperbarui: 30 Maret 2018   10:46 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam perspektif ekonomi politik media, di taraf mikro (tekstual) media dihadapkan pada serangkaian konsep teoritik tentang relasi sosial, ekonomi dan jalinan kekuasaan yang berlangsung dalam produksi dan distribusi bahasa media. Untuk menjelaskan relasi ini, (Mosco, 1996, dalam bukunya The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal) menyebutnya sebagai komodifikasi (commodification) media massa dalam memproduksi informasi untuk memenuhi kepentingannya.

Komodifikasi (commodification) dimaksudkan sebagai proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi sebuah komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Produk media pada umumnya berupa informasi dan hiburan, kedua jenis produk tersebut tidak dapat diukur seperti halnya barang bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi konvensional. Aspek tangibility-nya berbeda dengan "barang" dan jasa lain. Sehingga produk media menjadi barang dagangan yang dapat dipertukarkan/bernilai ekonomis

Motif ekonomi berupa keuntungan merupakan faktor penting dalam kelangsungan industri media modern sampai pada level pembentukan organisasi-organisasinya. Demi memenuhi keuntungan inilah sesungguhnya perlu disadari telah terjadi benturan dengan kepentingan publik yang seharusnya juga merupakan bagian dari perhatian media massa. Para artis/selebritis pun sengaja di-setting untuk ngalay demi memenuhi kepentingan perusahaan/industri media.

Lantas apa yang sebaiknya perlu kita lakukan di tengah globalisasi ditandai gejala semakin membanjirnya pilihan konten seiring percepatan di bidang teknologi informasi yang berasal atau besumber dari beragam media dihadapan kita?

Mengingat telah terjadi pergeseran fungsi media (TV swasta) yang kini sudah mengindustri dan media massa modern ini memiliki kecenderungan menjalankan market-driven journalism --di mana penyusunan berita dan segala bentuk kemasan informasi tidak lagi sekadar masalah politik media, tetapi menyangkut model kapitalisme industri -- maka tidak layak lagi media macam ini untuk dijadikan sumber informasi yang dapat dipercaya, jauh dari mencerdaskan dan kurang mencerahkan. Dalam perkataan lain: minim nilai edukasi.

Ini sangat beralasan, karena sajian konten yang seharusnya merupakan representasi dari realitas sudah berubah menjadi rekonstruksi realitas dengan melibatkan subyektivitas manusia dan kepentingannya -- sehingga apa yang disampaikan media (swasta/komersial) tidak akan pernah selalu sama dengan kondisi sesungguhnya.

Di era kebebasan/kemerdekaan dan keterbukaan informasi seperti sekarang, kita punya keleluasaan untuk mencari, mengakses, dan menyebarluaskan informasi. Itu semua membawa konsekuensi dan menuntut para pengonsumsi berita berperan aktif untuk selektif serta cerdas dalam memaknai setiap pesan yang disampaikan melalui media.

Langkah bijak bilamana tidak lagi bersesuaian untuk mengonsumsi atau menonton program/tayangan TV swasta/komersial yang memang "dikemas alay"  bahkan bisa dibilang "lebay" yaitu alihkan saja dan pilih kanal TV lain yang mungkin lebih bermanfaat serta memiliki nilai tambah.

Atau jika kita masih menganggap bahwa produk media merupakan sebuah representasi dari peristiwa, bisa mengembangkan imajinasi dan refleksi maka pilih saja tayangan TV Publik (TV-RI), karena dilihat kedudukan dan segala proses dan pendanaannya disubsidi oleh negara, produknya pun tidak boleh asal-asalan dan harus memenuhi standard operating procedure sehingga bisa dipertanggung jawabkan untuk memenuhi kepentingan publik.

Bacaan:

Mosco, Vincent, 1996. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. Sage, London.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun