Mohon tunggu...
Ahmad Munjizun
Ahmad Munjizun Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa S3 di North Carolina State University

Saya biasa dipanggil Jizun. Saat ini sedang menempuh studi di Amerika Serikat jurusan Animal Science dengan spesifikasi Equine Science atau Science tentang kuda.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Abis Wisuda, Mau Ngapain?

25 Oktober 2015   17:00 Diperbarui: 25 Oktober 2015   17:00 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisuda, adalah satu momentum paling ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa. Betapa tidak, menjalankan kuliah selama empat hingga lima tahun adalah bukan hal yang ringan. Namun ada hal yang seringkali dilupakan oleh mahasiswa pada umumnya, yakni bahwa kuliah itu tujuannya bukan untuk diwisuda. Wisuda hanya merupakan satu proses penyematan gelar sarjana, dari mahasiswa menjadi sarjana.

Menjadi seorang sarjana tidak menjamin seseorang akan siap menghadapi dinamika kehidupan masa kini. Ada berapa ribu sarjana yang masih mengalami pengangguran intelektual sekarang ini, alias ilmu yang mereka dapat di bangku kuliah belum terealisasi akibat kurangnya faktor pendukung lainnya. Faktor-faktor tersebut antara lain; jiwa kepemimpinan, relasi, keterampilan (ilmu yang aplikatif) dan tentu seberapa cermat ia dalam menggali informasi.

Jiwa kepemimpinan akan menentukan sikap dan seorang sarjana. Jiwa kepemimpinan dimaksud tidak mesti harus menjadi pemimpin sebuah organisasi setiap waktu. Kepemimpinan berarti sebuah karakter yang melekat pada diri seseorang yang akan menjadi penentu keberanian dan kebijaksanaannya dalam menghadapi masalah. Artinya, ia sudah mampu memimpin diri sendiri sehingga untuk memimpin orang lain pun jadi mudah. Jiwa seperti ini mutlak harus didapat dari proses yang panjang dalam pengalaman keorganisasian. Kepemimpinan akan tumbuh dari proses interaksi yang terjadi dalam organisasi dimana di kala mengejar target organisasi, akan ada banyak sekali permasalahan-permasalahan yang akan ditempuh dan akan ada banyak relasi yang harus dijalin yang pada gilirannya nanti mengantarkan mahasiswa menjadi orang-orang yang mantap tidak hanya cerdas di dalam kuliah, tapi juga cerdas secara sosial. Inilah yang disebut dengan kecerdasan emosional.

Selain itu, jikalau seorang sarjana tidak cakap dalam mencari peluang, maka ilmu yang sudah digali selama bertahun-tahun dari kampus tidak akan terpakai. Tentu untuk seorang sarjana yang memiliki teman atau relasi yang lumayan dapat diandalkan, ia tidak akan susah akan hal itu. Berbeda halnya dengan sarjana-sarjana yang pada saat mereka masih kuliah, kerjaannya hanya kuliah-pulang kuliah-pulang (kupu-kupu), atau kuliah-nangkring (kunang-kunang), atau apalah-apalah.

Satu hal lain yang juga menjadi bagian dari kepribadian seorang sarjana adalah nilai spiritualitas yang merupakan satu pondasi penting dalam membimbing setiap insan dalam menjalankan kegiatan kesehariaannya. Dengan kata lain, kualitas ini disebut dengan kesholehan. Tidak ada artinya seorang itu pintar dan punya banyak teman, tapi ia tidak sholat, alias tidak membutuhkan Tuhan. Dari orang-orang seperti inilah kemudian lahir para koruptor intelek yang menggerus uang rakyat berkedok pengorbanan dan pengabdian.

Bencana lain lagi yang lebih mengerikan yang harus menjadi satu konsekuensi orang-orang yang mengatakan sudah tidak butuh Tuhan adalah saat mereka tertimpa masalah besar. Masalah demi masalah terus menggerogoti hidupnya. Hingga pada akhirnya mereka tidak tahu mau mengadu pada siapa. Maka tidak jarang kita mendengar berita tentang para pejabat yang mendadak stroke akibat harus diintrogasi di meja hijau lantaran kasus korupsi atau pencurian uang negara. Ini terjadi karena mereka sudah tidak sanggup lagi menerimanya. Mereka hanya percaya pada diri sendiri, tapi tidak yakin bahwa semuanya ada di tangan Tuhan.

Ada empat hal yang menjadi kemungkinan seorang sarjana pasca diwisuda. Pertama, ia mungkin melamar kerja baik yang sejajar dengan jurusan yang ia ambil waktu kuliah atau tidak. Kedua, ia mungkin membuka usaha sehingga ia dapat mempekerjakan orang lain untuk menjalankannya. Ketiga, ia juga berpeluang untuk melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya, yaitu S2 baik dengan biaya sendiri ataupun dengan beasiswa. Keempat, dan ini adalah yang paling buruk, yaitu menganggur dalam rangka menunggu peluang kerja. Bagaimana ada peluang kalau tidak dikejar. Hadeeeh.

Apapun itu, yang jelas ia merupakan satu pilihan yang harus dijalankan oleh seorang mantan mahasiswa S1. Cita-cita setiap orang berbeda. Ada yang bermimpi menjadi pengusaha. Ada juga yang bermimpi menjadi politisi. Atau bahkan ada juga yang bermimpi menjadi sopir taksi. Mau nganggur juga nggak apa-apa. Kalau anda mau. Yups. It’s the matter of choice.

Graduation is not the end. It is actually the starting point in which a graduate gets started to have the next level of life challenges.”

 

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun