Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Premanisme, Percakapan Menjelang Liburan Lebaran

8 Juni 2018   08:06 Diperbarui: 8 Juni 2018   09:01 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah dari mana asal-usulnya tapi kata "preman" sepertinya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat kita. 

Ada yang mengatakan kata itu berasal dari Bahasa Inggris "free man" yang artinya orang bebas. Tapi masyarakat mengartikannya orang yang tidak bekerja tapi mendapatkan uang dengan cara memaksa.

Itulah hasil percakapan kami pagi ini dengan pengemudi "daring" (dalam jaringan) yang dulunya punya usaha membeli durian di wilayah Sumatera, tepatnya di  Lampung. 

Dia mengawali percakapan dengan mengusulkan agar kembali seperti era Pak Harto. Dia memberi contoh yang sangat sederhana. Dia membeli buah durian dari petani di Lampung. Awalnya petani itu minta Rp 5.000 per buah. Namun setelah negosiasi, akhirnya disepakati dengan harga Rp 4.500 per buah dan petaninya senang sekali. 

Tiba-tiba seorang preman mengajaknya makan di warung, rupanya dia tahu rencana pembelian durian dari petani itu dan preman itu memintanya untuk membayar langsung Rp 6.000 ke preman itu dan preman itulah nanti yang akan memberikan Rp 4.500 kepada petani. 

Awalnya dia tidak bisa menerimanya karena sudah ada kesepakatan langsung dengan petani seharga Rp. 4.500 per buah. Namun preman itu mencabut celurit dan mengalungkannya ke lehernya, dan tidak ada pilihan lain dengan gemetar dia mengatakan setuju membayar Rp. 6.000 per buah.

"Di zaman Pak Harto itu tidak ada" katanya menjelaskan. 

Namun yang paling menyedihkan, dia kemudian mengetahui bahwa petani itu ternyata hanya menerima Rp. 2.500 per buah dari preman itu. 

Dia mengatakan betapa tidak adilnya kalau petani yang bersusah payah itu hanya mendapatkan Rp 2.500 sementara preman yang tidak berkerja apa-apa dan hanya menggunakan kekerasan saja mendapatkan Rp 3.500 per buah. Dia mengajukan saran agar Koperasi Unit Desa (KUD) dihidupkan lagi sehingga tidak perlu berurusan dengan preman itu. 

Saya coba jelaskan bahwa Presiden Jokowi dan menterinya, bahkan mungkin gubernur sampai bupati tidak tahu praktik premanisme yang merugikan masyarakat itu.

"Itulah, enakan di zaman Pak Harto dengan KUDnya" katanya dengan polos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun