Presiden Joko Widodo mempercepat pembangunan infrastruktur vital bagi distribusi dan pertumbuhan ekonomi Nasional yang selama ini justru tertunda-tunda di tangan para pengusaha yang telah memegang konsesinya. Beliau juga mempercepat sejumlah ruas baru yang dianggap strategis.
Satu hal yang penting, pada keseluruhan proyek pembangunan yang dilakukannya, tak pernah terdengar satupun bisnis yang terkait dengan diri maupun keluarganya yang terlibat.
+++
IDEALNYA, Negara memang perlu menyediakan jalan bebas hambatan yang dapat digunakan dengan kecepatan tinggi (freeway, highway) untuk menghubungkan kutub-kutub pertumbuhan yang ada. Skenario jalan tol (berbayar) ditempuh sebagai cara menyiasati pendanaan besar yang dibutuhkan.
Tapi kemampuan Joko Widodo mengambil alih pelaksanaan konstruksi jalan tol yang semula sudah di tangan swasta itu, menunjukkan dan membuktikan satu hal penting: Indonesia sesungguhnya memiliki kemampuan sendiri melakukannya.
Dengan kata lain, preseden Tutut melalui anak usaha CMNP-nya itulah yang selalu dijadikan rujukan oleh para penguasa sebelumnya untuk "mendistribusikan rezeki" kepada sejumlah elit pengusaha yang berkembang biak di sekitarnya dengan segala fasilitas selama ini. Penundaan pembangunan yang terjadi sebelum Joko Widodo naik ke tampuk kekuasaan membuktikan bahwa maksud dan tujuan pembangunan Nasional yang melatar belakangi penyelenggaraannya kalah bersaing dengan kemampuan pihak swasta yang menguasai konsesi menjalankan komitmen yang seharusnya.
Jalan tol sesungguhnya komitmen bersama bangsa Indonesia sehingga pemerintah dan masyarakat bergotong-royong menyelenggarakan. Tapi sebaiknya tujuan pokok semula jangan ditinggalkan. Yakni mengadakan jalan bebas hambatan (freeway) agar aksesibilitas antar wilayah pertumbuhan ekonomi terbuka dan meningkat.
Dengan kata lain, jalan tol bukanlah tujuan utama bisnis transportasi untuk sekedar menambah pundi keuangan pemerintah. Apalagi swasta yang bekerja sama. Tapi lebih pada siasat sementara agar pembangunan dapat terlaksana sesuai kebutuhan sekaligus untuk mengatasi kendala pembiayaannya. Suatu ketika nanti, jika perekonomian dan keuangan Negara telah memungkin, freeway atau highway yang dibutuhkan bisa diselenggarakan tanpa harus dikenakan biaya bagi penggunanya.
Konstruksi bisnis jalan tol yang terbangun selama ini telah menggeser pemahaman dan pemaknaannya sebagai ladang usaha seumur hidup. Baik oleh pemerintah maupun lembaga swasta yang bekerjasama menyelenggarakannya. Hal ini harus diluruskan kembali seperti "janji" Suharto saat awal mula mengoperasikan Jagorawi dulu. Sebab hal itu adalah amanah konstitusi UUD 1945.
Atau setidaknya, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bisnis jalan tol, harus menyertakan skenario transformasinya sebagai penyandang kewajiban sosial dalam mengupayakan layanan transportasi massal publik. Dengan demikian semangat tolong-menolong dan bergotong-royong membangun dapat betul-betul terwujud.
+++