Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

"Logical Fallacy" Jalan Tol

29 September 2018   13:23 Diperbarui: 29 September 2018   13:33 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukti bayar memasuki jalan tol dari Pondok Ranji hari ini (29 Sept 2018)

:: ulasan ini dimulai dari istilah 'Bapak Pembangunan' hingga pemberlakuan Tarif Integrasi JORR hari ini, 29-9-2018. 

SITI HARDIANTI RUKMANA "protes" dan "menyindir" Joko Widodo atas julukan yang diberikan masyarakat kepadanya sebagai "Bapak Pembangunan". Saya membacanya dari wall Ferdinand Matita, rekan yang dulu bekerja sebagai awak redaksi RCTI. Dia memprotes balik Tutut, panggilan kecil puteri sulung Suharto itu. 

Ya, perusahaan Tutut memang swasta pertama yang diberi hak oleh pemerintah yang dikuasai Bapaknya ketika menjadi Presiden dulu. Waktu itu, dia masih "anak kemarin sore" dengan kemudahan yang hampir tak terbatas untuk berbisnis apapun. Seperti saudara-saudaranya yang lain. Apa saja yang mereka inginkan hampir selalu dikabulkan. Lengkap dengan segala kemudahan dan fasilitas yang dibutuhkan agar keinginannya terwujud. Termasuk fasilitas pembiayaannya. 

Bukan hanya jalan tol, kakak- beradik anak-anak Suharto merambah bisnis ke mana-mana. Mulai petrokimia, mobil nasional, monopoli cengkeh, jeruk, media televisi, penerbangan komersial, kapal tanker, dan lain-lain. 

Suharto memang "Bapak Pembangunan yang bijak" bagi kerabat dan keroninya. Sementara Joko Widodo disebut "Bapak Pembangunan oleh rakyat" yang menyaksikan maupun merasakan kebijakannya. 

screenshot-tutut-5baf13556ddcae5ca06fff74.jpg
screenshot-tutut-5baf13556ddcae5ca06fff74.jpg
+++

KETIKA Tutut diberi hak menguasai jalan tol dalam kota Jakarta ruas Cawang-Tanjung Periok, saya sedang bekerja di Pacific Consultants International, perusahaan yang berkantor pusat di Tokyo. Perusahaan kami menyediakan layanan konsultasi engineering bagi proyek-proyek yang didanai Japan International Cooperation Agency (JICA) --- baik melalui pinjaman lunak yang berbunga rendah maupun hibah --- di Indonesia dan negara-negara berkembang lain di seluruh dunia. 

Saya ingat betul, jengkel yang dirasakan ketika melihat keistimewaan Tutut yang demikian mudah mendapat konsesi-nya tanpa perlu berkeringat. Sementara ruas Cawang - Grogol tetap dikuasai Jasa Marga, BUMN yang sebelumnya dibentuk pemerintah untuk mengelola tol Jagorawi

Kejengkelan saya pribadi saat itu karena harus bekerja lembur berhari-hari untuk menganalisa besaran tarif agar kehadiran jalan tol dalam kota itu optimal. Baik bagi kondisi transportasi umumnya yang terimplikasi oleh kehadiran jalan tol dalam kota itu, maupun terhadap kelayakan business para investor.

Waktu itu, hampir seluruh pembiayaan yang dibutuhkan bersumber dari pinjaman. Tol dalam kota juga menerapkan sistem tarif tunggal pertama. Sebab tol Jagorawi sebelumnya menggunakan sistem tarif berdasarkan jarak yang ditempuh

Sistem tarif tunggal menyebabkan Citra Marga Nusa Pala, perusahaan konsesi tol Cawang-Periok yang dimiliki Tutut, harus bersepakat soal bagi hasil dengan Jasa Marga yang menguasai Cawang-Grogol. 

Keistimewaan yang dimiliki Tutut waktu itu memungkinkannya mendesak perolehan porsi (share) yang lebih besar. Walaupun investasi maupun jumlah kendaraan yang menggunakan pada ruas jalan tol miliknya lebih kecil. 

Begitu dahsyatnya pengaruh kekuasaan Suharto terhadap bisnis yang diinginkan putra-putrinya sehingga pengerjaan konstruksinya pun dikerjakan oleh perusahaan mereka sendiri. Apa yang dibilang Tutut benar adanya. Pengerjaan konstruksi tol itu memang dikerjakan bersama antara Waskita Karya (BUMN) dengan perusahaannya, Yala Perkasa Internasional

+++

KEBIJAKAN jalan tol pertama kali ditetapkan Suharto sebagai upaya menyertakan partisipasi masyarakat untuk mencicil hutang kita kepada Bank Dunia yang mendanai pembangunan Jagorawi. Putusan tersebut dilakukan menjelang penyelesaian konstruksi dan sebelum diioperasikan. Jadi sebetulnya, pembangunan Jagorawi semula adalah untuk menyediakan freeway atau jalan bebas hambatan yang menghubungkan Jakarta dan Ciawi. Sebab level of service kedua jalan arteri yang ada (Raya Bogor via Cibinong dan Raya Parung) sudah demikian buruk. 

Tol kedua yang kita bangun adalah Jembatan Raja Mandala yang menyeberangi Sungai Citarum di Cianjur. 

Saat itu, dalam keterangan yang disampaikan terkait kebijakan tersebut, pemerintah sebetulnya menjanjikan setelah masa tertentu (kalau tak salah 25 tahun), jalan tol yang dikelola Jasa Marga tersebut akan dikembalikan ke Negara. Tentunya ada klausul 'karet' yang memungkinkan perpanjangan hak sesuai dengan kondisi tertentu yang disepakati. Ketetapan itu hanya diberlakukan bagi jembatan tol Raja Mandala yang kemudian hari memang diserahkan kepada Negara dan membebaskan masyarakat menggunakannya tanpa biaya. 

Preseden Jagorawi itulah yang kemudian digunakan untuk membangun tol dalam kota. Lalu jalan-jalan tol yang menyusul kemudian hingga hari ini. Termasuk menyertakan swasta berinvestasi di sana. 

Hal lain, jalan tol yang dibangun kemudian tak ada yang pernah dikembalikan ke Negara untuk menjadi freeway atau highway seperti penjelasan Suharto semula ketika mengalih fungsikan Jagorawi dulu. 

+++

SEJAK saat itu, bisnis jalan tol menjadi rebutan kalangan elit tertentu. Bangun Cipta Sarana, perusahaan milik Siswono Yudo Husodo menguasai ruas Cikampek. Hutomo Mandala Putra (Tommy Suharto) pada ruas Jakarta Merak, dan seterusnya. 

Sebagian yang telah memenangkan konsesi pembangunan dan pengoperasian jalan tol di masa setelahnya, tak kunjung memulai konstruksi karena kendala kemampuan finansial. Pada saat Joko Widodo memasuki Istana Presiden RI 2014, pelaksanaan konstruksi bisnis jalan tol tersebut kemudian diambil alih pemerintah. Tentu berdasarkan kesepakatan tertentu dengan pemilik konsesi semula yang tak kunjung membangunnya. 

Presiden Joko Widodo mempercepat pembangunan infrastruktur vital bagi distribusi dan pertumbuhan ekonomi Nasional yang selama ini justru tertunda-tunda di tangan para pengusaha yang telah memegang konsesinya. Beliau juga mempercepat sejumlah ruas baru yang dianggap strategis. 

Satu hal yang penting, pada keseluruhan proyek pembangunan yang dilakukannya, tak pernah terdengar satupun bisnis yang terkait dengan diri maupun keluarganya yang terlibat. 

+++

IDEALNYA, Negara memang perlu menyediakan jalan bebas hambatan yang dapat digunakan dengan kecepatan tinggi (freeway, highway) untuk menghubungkan kutub-kutub pertumbuhan yang ada. Skenario jalan tol (berbayar) ditempuh sebagai cara menyiasati pendanaan besar yang dibutuhkan. 

Tapi kemampuan Joko Widodo mengambil alih pelaksanaan konstruksi jalan tol yang semula sudah di tangan swasta itu, menunjukkan dan membuktikan satu hal penting: Indonesia sesungguhnya memiliki kemampuan sendiri melakukannya

Dengan kata lain, preseden Tutut melalui anak usaha CMNP-nya itulah yang selalu dijadikan rujukan oleh para penguasa sebelumnya untuk "mendistribusikan rezeki" kepada sejumlah elit pengusaha yang berkembang biak di sekitarnya dengan segala fasilitas selama ini. Penundaan pembangunan yang terjadi sebelum Joko Widodo naik ke tampuk kekuasaan membuktikan bahwa maksud dan tujuan pembangunan Nasional yang melatar belakangi penyelenggaraannya kalah bersaing dengan kemampuan pihak swasta yang menguasai konsesi menjalankan komitmen yang seharusnya. 

Jalan tol sesungguhnya komitmen bersama bangsa Indonesia sehingga pemerintah dan masyarakat bergotong-royong menyelenggarakan. Tapi sebaiknya tujuan pokok semula jangan ditinggalkan. Yakni mengadakan jalan bebas hambatan (freeway) agar aksesibilitas antar wilayah pertumbuhan ekonomi terbuka dan meningkat

Dengan kata lain, jalan tol bukanlah tujuan utama bisnis transportasi untuk sekedar menambah pundi keuangan pemerintah. Apalagi swasta yang bekerja sama. Tapi lebih pada siasat sementara agar pembangunan dapat terlaksana sesuai kebutuhan sekaligus untuk mengatasi kendala pembiayaannya. Suatu ketika nanti, jika perekonomian dan keuangan Negara telah memungkin, freeway atau highway yang dibutuhkan bisa diselenggarakan tanpa harus dikenakan biaya bagi penggunanya. 

Konstruksi bisnis jalan tol yang terbangun selama ini telah menggeser pemahaman dan pemaknaannya sebagai ladang usaha seumur hidup. Baik oleh pemerintah maupun lembaga swasta yang bekerjasama menyelenggarakannya. Hal ini harus diluruskan kembali seperti "janji" Suharto saat awal mula mengoperasikan Jagorawi dulu. Sebab hal itu adalah amanah konstitusi UUD 1945.

Atau setidaknya, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bisnis jalan tol, harus menyertakan skenario transformasinya sebagai penyandang kewajiban sosial dalam mengupayakan layanan transportasi massal publik. Dengan demikian semangat tolong-menolong dan bergotong-royong membangun dapat betul-betul terwujud. 

+++

LATAR belakang filosofis dari keberadaan jalan tol tersebut perlu kita ke depankan lagi. Agar setiap kali mengambil keputusan tidak semata sepihak seperti tanggapan Kepala BPJT, Herry Trisaputera Zunna kemarin, saat ditanyakan soal kebijakan tarif tunggal yang akan dikenakan pada ruas Jalan Tol Outer Ring Road. Katanya, penetapan tarif terintegrasi yg berlaku tanggal 29-9-2018 hari ini, akan menguntungkan pengguna yang jarak jauh, utamanya kendaraan angkutan logistik, yang selama ini harus membayar lebih mahal. 

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol itu lupa, bahwa sebagian besar pengguna jarak pendek ruas jalan tol itu --- yang selama ini hanya mengeluarkan Rp 9.500 --- akan merasa dirugikan karena harus membayar Rp 15.000. Ketika keluhan tersebut disampaikan, dia menjawab dengan saran agar pengguna yang merasa kemahalan untuk menggunakan jalan arteri alternatif yang tersedia. 

Jawaban itu tentu sangat tak elok. Sebab, kita semua memahami jalan tol Lingkar Luar Jakarta itu, dibangun secara bertahap. Dimulai dari ruas Lebak Bulus-Taman Mini. Kemudian disusul dengan ruas demi ruas yang lain sehingga tersambung seperti sekarang. 

Persoalannya, saat ruas-ruasnya masih belum tersambung sebelumnya --- terutama dengan seksi yang menghubungkan langsung dengan tol Jakarta-Merak dan Sedyatmo --- pengguna utama yang sekaligus penyokong pendanaannya adalah masyarakat yang melaju dengan kendaraan pribadi. Angkutan barang masih terbatas karena akses yang menghubungkannya dengan kawasan industri di sisi barat Jakarta masih terputus. Saat itu, mereka masih memanfaatkan Tol Dalam Kota jika ingin menjangkau sisi timur Jakarta. 

Tentu tak elok jika setelah jalan tol tersebut tersambung, para pengguna kendaraan pribadi yang selama ini menyokong pembiayaan jalan tol itu, seolah di-nomor dua-kan. Bagaimana pun, jika hanya angkutan logistik yang akan menggunakan jalan tol Lingkar Luar itu, ditambah sebagian kecil kendaraan pribadi yang melintas jarak jauh dari Timur-Barat atau sebaliknya, perolehan perusahaan yang mengelola tak akan mencukupi untuk mengembalikan investasinya. 

Di sisi lain --- sebagian besar pengguna pribadi jarak pendek yang mengeluh dan seolah diabaikan itu --- sesungguhnya dihadapkan pada pilihan untuk tetap menggunakan meski dengan tarif yang tinggi. 

Lain soalnya jika akses jalan arteri yang merupakan alternatif jalan tol itu sudah dibenahi dan ditingkatkan pelayanannya oleh pemerintah. 

+++

SIKAP menanggapi keluhan atas integrasi dan kenaikan tarif jalan tol Lingkar Luar yang diterapkan mulai hari ini tersebut, merupakan kesalahan logika yang tak semestinya. Sebab, apapun alasannya, pertimbangan untuk menaikkan revenue tak mungkin dikesampingkan. Betapa pun sanggahan yang disampaikan. 

Sebab, dengan keyakinan penuh, saya berani menjamin pengelola jalan tol Lingkar Luar Jakarta sesungguhnya tak memiliki basis data asal-tujuan penggunanya selama ini. Soalnya, pendataan yang ada hanya pada jumlah yang memasuki setiap gerbang pembayaran. Dimana masing-masing kendaraan tersebut keluar tak pernah dideteksi. 

Jilal Mardhani, 29 September 2018


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun