"Pendidikan agama sejak dini di sekolah-sekolah yang mestinya menampung murid-murid yang merdeka dan majemuk, jelas berbeda dengan budi pekerti. Kalau yang terakhir itu adalah tentang hubungan dengan sesama manusia. Termasuk merayakan perbedaan diantara mereka. Sementara agama justru mengajarkan penajaman perbedaan. Exclusivitas. Bayangkan anak-anak yang masih suci bersih seperti kertas kosong, dengan kemampuan berfikir dan penalaran yang sangat terbatas, sudah kita cekok dengan paham rasialisme."
"Lalu soal hubungan dengan Rizieq, pak?", tukasnya.
"Nah, paham-paham radikal yang sering disuarakan Rizieq dan sejumlah tokoh agama yang sealiran dengannya, memiliki kemudahan pemasaran karena sejak kanak-kanak, masyarakat sudah dicekok dasar-dasar rasialisme dari pelajaran agama di sekolah-sekolah itu. Sedemikian rupa, banyak yang begitu saja percaya kehendak Tuhan bisa meniadakan upaya dan kerja keras. Berdoa dengan khusuk, termasuk menjalankan berbagai ritual, jauh lebih penting dibanding berupaya dan melakoni sungguh-sungguh proses yang harus dilalui. Bahkan banyak yang mengartikan kegagalan sebagai akibat tak diridhoi Tuhan, karena dia lalai melakoni amalan-amalannya."
"Betul pak. Tapi sekarang banyak masyarakat yang patuh dan hilang akal jika dikait-kaitkan dengan agama. Saya pribadi tak sepaham. Sementara banyak teman dan keluarga saya yang justru seperti itu", tukasnya lagi.
"Begitulah mas. Saya saja tak mampu meyakinkan adik kandung sendiri soal kekeliruan cara pandang itu. Padahal kami dulu sama-sama mengumpat Suharto dan Orde Baru. Bermimpi tentang sosok pemimpin seperti Ahok dan Jokowi. Ketika keduanya nyata hadir di depan mata kita, semua keistimewaan yang sesungguhnya dulu didambakan, menjadi tak berarti ketika mereka menghasut dengan issue penistaan agama dan keberpihakan pada golongan lain yang bukan dirinya."
"Kasihan Jokowi dan Ahok ya pak!", katanya kemudian saat kami tiba di tempat tujuan.
"Bukan mereka yang harus dikasihani, mas. Tapi bangsa kita secara keseluruhan. Justru kita berterima kasih kepada mereka. Karena membuka mata dan hati kita terhadap tabir gelap yang selama ini menyelimuti", ucap saya sambil bersiap-siap turun dari mobilnya.
"Terima kasih, pak", katanya mengakhiri perjumpaan kami hari itu.
###
Supir taksi online yang menanyakan pendapat tentang apa yang sedang berlangsung, di bagian paling awal tulisan ini, adalah sarjana yang baru lulus dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Sebelumnya, kami mengobrol tentang fenomena penyerangan ulama di sejumlah daerah. Setelah ditangkap, para pelaku umumnya ditengarai mengalami gangguan jiwa. Ternyata supir online ini membaca salah satu berita di edisi majalah Tempo yang terakhir.
"Saya tak tahu, mas. Tapi fenomena ini seperti yang terjadi tahun 1998 lalu. Ketika Suharto baru mengundurkan diri dan Indonesia sedang transisi menyiapkan diri menggulirkan agenda Gerakan Reformasi", ujar saya mencoba menanggapi pertanyaannya.