Saya sungguh terharu melihat kegigihan keluarga supir taksi online ini. Dia memilih salah satu profesi "zaman now" setelah di-phk karena kesulitan yang dialami perusahaan tempatnya bekerja selama belasan tahun terakhir. Tentu tak mudah bagi dirinya yang sudah berusia lebih dari 50 tahun, untuk melamar kerja lagi. Terutama di tengah situasi lesu belakangan ini. Apalagi terkait industri migas yang memang menjadi salah satu bidang industri yang terpukul hebat sejak jatuhnya harga minyak dunia beberapa tahun belakangan. Karena usia, istrinya pun telah memasuki masa pensiun sehingga tak lagi bisa melakoni profesi pramugari maskapai penerbangan yang mempekerjakannya selama ini. Tapi Revolusi Budaya Digital telah bermurah hati membukakan peluang kepada mereka. Mengais rezeki yang halal, agar dapat mempertahankan kemampuan membiayai kehidupan sehari-hari dan kebutuhan pendidikan anak-anaknya.
###
"Katanya Rizieq mau pulang ya pak?", tanya supir online yang mengantar saya pagi itu ke salah satu perkantoran di Jakarta Selatan.
"Semestinya begitu jika dia menjadi warga negara yang baik. Buat apa buron jika yakin tak bersalah?"
"Persoalannya media sosial hari ini terus-menerus berisik soal pertentangan agama, ya pak. Heran saya, urusan pribadi di campur aduk dengan soal berbangsa dan bernegara", kata pegawai salah satu kantor di kawasan Kuningan yang melakukan kerja sampingan sebagai supir taksi online sebelum berangkat kerja dan setelah pulang di sore hari itu.
"Menurut saya, semua itu akibat dari sistem pendidikan kita yang bobrok selama ini. Kita tak dibiasakan mengenal upaya dan proses. Tapi sekedar lulus ujian. Soal ilmu dan pengetahuan yang kemudian diterapkan sehari-hari, sering terabaikan sistem pendidikan kita."
"Maksudnya bagaimana, pak?"
"Makom anak-anak itu adalah bermain. Bakat dan minatnya perlu dikembangkan sejak dini. Mestinya kesenian dan olahraga tetap dipelihara sebagai hal yang mengasyikkan. Bahkan sampai mereka dewasa. Negara harus memberi ruang seluas-luasnya untuk hal itu. Sehingga kesenian dan olahraga jadi budaya dan gaya hidup sehari-hari tanpa pertimbangan ekonomi. Maksudnya, jika masyarakat berminat dan ingin melakoni, negara menyediakan kemudahan tak berbatas. Sebab, lewat kegiatan seni dan olahraga, kita diasah tentang gagasan. Lalu upaya dan proses untuk mewujudkan. Termasuk belajar dari kegagalan dan keinginan menyempurnakan terus-menerus."
"Wah, darimana anggarannya untuk membiayai seperti itu?", tukasnya.
"Mestinya hal itulah yang menjadi tujuan Negara membangun ekonominya. Supaya ada hasil dan keuntungan yang digunakan untuk membiayai hal-hal yang mengasyikkan bagi setiap anggota masyarakat. Bukan soal agama dan keimanan yang sifatnya exlusive itu."
Kemudian saya menjelaskan lebih lanjut: