Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Peluang Disrupsi dengan "Toll-Go"

23 Januari 2018   22:11 Diperbarui: 24 Januari 2018   04:33 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hakekatnya, jalan tol dikembangkan untuk menyiasati ketidak-mampuan Negara. Yakni dalam hal menyediakan infrastruktur agar tranportasi masyarakat lancar ketika menyelenggarakan aktifitasnya. Baik dalam rangka kepentingan sosial, budaya, maupun ekonomi. 

Jadi, infrastuktur (transportasi) memang tak semata penopang aktifitas ekonomi. Sebab sejatinya, manusia adalah makhluk sosial. Organisme yang hidup bersama, dan melakukan interaksi untuk saling melengkapi, merayakan kehidupan, dan berkompetisi. Aktifitas yang bersifat ekonomi memang menyangkut pada ketiga hajat kehidupan itu juga. Walaupun ia lebih ditekankan pada hal yang terakhir : persaingan (kompetisi).

###

Manusia berkembang bersama aktifitas kehidupannya yang semakin ruwet. Sementara itu, karena satu dan lain hal, Negara tertatih mengimbangi sehingga tak mampu menyediakan infrastruktur yang sesungguhnya merupakan amanah dari konstitusinya sendiri.

Demikianlah sejarah yang kita lalui di penghujung tahun 1970-an, ketika memutuskan legalisasi untuk mengkomersialkan jalan raya yang peruntukannya dibatasi jenis kendaraan tertentu, dan bebas hambatan. 

Dikatakan "terbatas" karena jalan tol hanya boleh digunakan oleh kendaraan bermotor, dan umumnya beroda empat atau lebih. Dalam kasus khusus, jalan (jembatan) tol memang pernah dibolehkan untuk dilalui kendaraan bermotor roda dua (misalnya jembatan tol Citarum yang dulu beroperasi di kawasan Ciranjang, Jawa Barat). 

Jalan tol juga bercirikan bebas hambatan. Maksudnya, kendaraan yang melintas dijanjikan kelancaran yang menerus. Sebab di sepanjang jalannya tak ada perlintasan sebidang. Bahkan kecepatan minimal kendaraan pun dibatasi (60 km/jam).

###

Dalam hal jalan tol, kita berkompromi untuk kebaikan "bersama". Negara berkorban mengalokasikan "ruang publik" untuk membangun dan menyelenggarakannya. Investor berkorban untuk mempertaruhkan "kekayaan" agar dapat membiayai, dan tentu saja memperoleh return atau hasil investasinya. Lalu, masyarakat berkorban dengan "membayar" tarif setiap kali menggunakan agar dapat menikmati layanan standar yang dijanjikan, yakni dalam hal kecepatan, keamanan, dan kenyamanan berkendara. 

Jadi, kesepakatan itu sesungguhnya terjadi karena berawal dari "ketidak-mampuan" Negara menyelenggarakan kewajiban konstitusionalnya; sehingga mengajak peran serta masyarakat (investor dan pengguna). Bukan semata karena peluang ekonomi dan keuntungan finansial yang diperoleh langsung darinya. 

###

Dalam perjalanannya, "pengecualian" yang menjadi latar belakang kompromi itu, justru bermetamorfosa menjadi "keniscayaan". Bahkan PJR (Polisi Jalan Raya) pun semakin terang-terangan "mencederai" prinsip bebas hambatan-nya. Hari ini, kita kerap menyaksikan PJR menghentikan kendaraan yang mereka curigai untuk "memeriksanya" di bahu jalan. Menghambat pengguna jalan tol lain yang sudah berkorban membayar layanan yang dijanjikannya.  

Jalan tol justru menjadi peluang investasi menggiurkan yang diburu pemodal dalam dan luar negeri, sejalan perkembangan pesat kota maupun kawasan yang dilayaninya. Baik karena jumlah pergerakan yang dibangkitkan manusia yang menghuni dan beraktifitas di sana, maupun nilai perputaran ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang terlibat. 

Fenomena tersebut dengan mudah kita cermati dari penambahan jumlah lajur (road lane) yang disediakan. 

Jakarta-Cikampek yang mulai beroperasi akhir tahun 1980-an, semula hanya menyediakan 2 lajur dan masih lengang. Jumlah lajurnya terus bertambah dari tahun ke tahun untuk menampung pertumbuhan kendaraan yang semakin padat di sana. Hari ini, mulai dari ruas Cikarang menuju Jakarta, justru sedang dibangun tambahan lajur yang melayang di mediannya. Padahal masing-masing sisi jalannya telah menyediakan 4 lajur lintasan. Begitupun, kemacetan akibat lonjakan volume kendaraan tetap menjadi fenomena sehari-hari. Apalagi pada kawasan tempat loket pembayaran diletakkan.

Pelebaran badan jalan dan penambahan lajur kendaraan juga bisa kita saksikan pada berbagai ruas lain, seperti Sedyatmo yang menghubungkan bandara Soekarno Hatta, Jagorawi, bahkan Padalarang-Cileunyi yang terletak di selatan Bandung. 

Sebagian besar jalan-jalan tol itu juga tersambung satu dengan yang lain, sehingga dari Bandara Sukarno-Hatta bisa menerus hingga Palimanan, Cirebon; atau dari Merak, Banten, sudah terhubung langsung hingga ke Cileunyi, Jawa Barat.

Persoalannya, ruas-ruas jalan tol itu dibangun oleh investor yang berbeda-beda. Meskipun bisa berkendaraan secara menerus, saat ini penggunanya harus "terhambat" dengan sejumlah loket pembayaran, setiap kali memasuki ruas jalan tol yang dibangun dan dikelola perusahaan berbeda. Meski tetap "mengganggu", hambatan gerbang tol itu sedikit dapat dimaklumi jika volume kendaraan yang melintas masih lengang. "Ketidak nyamanan" akibat harus bertransaksi di sana masih tertolerir. Tapi ketika jam sibuk dan lalu lintas yang padat, keharusan transaksi di gerbang-gerbang antar ruas jalan tol itu, sungguh menjengkelkan. 

###

Pengalaman berkendara dari bandara Sukarno-Hatta hingga pintu keluar yang terletak di kawasan Fatmawati, pada hari Jumat, 19-1-2018, kemarin, adalah salah satu contohnya. 

Akibat padatnya volume kendaraan yang melintas saat itu, antrian kendaraan langsung dimulai setelah transaksi pada gerbang yang menghubungkan tol Sedyatmo dengan Lingkar Luar Barat (Kamal). Kemacetan panjang harus dilalui hingga gerbang berikutnya yang menghubungkan dengan ruas Lingkar Luar yang dikelola investor lain (Kayu Besar). 

Setelah itu, sedikit lancar lalu macet lagi ketika harus bertransaksi di pintu tol Meruya yang berada di sekitar simpang susun Tol Lingkar Luar dengan Jakarta Merak. 

Jumat sore itu, waktu tempuh yang harus dikorbankan pengendara dari pintu tol Kamal hingga keluar di Fatmawati, mencapai 90 menit dan 2/3 diantaranya hanya untuk antrian bertransaksi di ketiga gerbang tol!

Pertanyaan mendasar disini : dimanakah pertanggung jawaban "kompromi" pengorbanan kita masing-masing --- Negara, investor, dan pengguna --- yang dijelaskan pada bagian awal tulisan ini? 

###

Lazimnya dalam setiap transaksi layanan komersial, penyedia jasa seyogyanya mengembangkan dan menjaga "kontrak kesepakatan standar pelayanan" kepada pelanggan yang menggunakan. Meskipun kehadiran jalan tol merupakan suatu "permakluman" akibat ketidak mampuan Negara mengadakan dan menyelenggarakan infrastruktur transportasi memadai, kesemena-menaan tingkat pelayanan yang diberikan terhadap biaya pengorbanan yang dibayar pelanggan, mestinya sama sekali tidak dibenarkan. 

Contoh baik perlindungan konsumen yang diterapkan pada industri penerbangan, mestinya juga dilakukan terhadap penyelenggara jalan tol. Ketentuan telah diberlakukan kepada setiap maskapai penerbangan yang tak mampu memenuhi jadwal yang dijanjikannya. Misalnya, penumpang berhak terhadap kompensasi tertentu atas setiap jenis keterlambatan yang terjadi. 

Lalu, mengapa standarisasi tingkat pelayanan seperti demikian, tidak dikembangkan pada jala tol? 

###

Siaran televisi CNN kemarin (Senin, 22-1-2018) memberitakan pelaksanaan perdana layanan "Amazon-Go" bagi pelanggan convenient store di Seattle, Amerika Serikat. Setelah memgambil belanjaan yang dibutuhkan, konsumennya tak perlu lagi mengantri dan membayar di kasir. Mereka boleh langsung keluar meninggalkan toko. Sebab, teknologi sistem penagihan canggih yang dikembangkan, mampu langsung dibebankan kepada rekeningnya. Proses "administrasi" hanya berlangsung saat pelanggan memasuki toko, yakni dengan cara menempelkan barcode identitas pada alat pemindai yg diletakkan pada gerbangnya. 

Ya, teknologi sudah hadir di sekitar kita dan sangat mungkin dikembangkan pemanfaatannya. 

"Toll-Go" --- istilah rekaan saya untuk sistem yang memungkinkan kendaraan masuk dan keluar di gerbang tol manapun, tanpa harus mengantri, bertransaksi secara fisik, dan biayanya dapat langsung ditagihkan --- jauh lebih sederhana dibanding "Amazon-Go". 

Sesungguhnya, untuk tingkat sederhana telah lama diterapkan Singapore pada sistem ERP (electronic road pricing) di sejumlah jalan protokolnya (sejak 1998). Setiap kendaraan yang melintas, pada jam tertentu, akan dikenakan tarif tertentu yang ditagihkan melalui perangkat yang dilekatkan di dashboard kendaraan, dan dipindai melalui gerbang yang membentang di lokasi-lokasi tertentu pada jalan tersebut. Perangkat sejenis sebetulnya sudah direncanakan lama untuk diterapkan juga di kawasan CBD (kawasan kegiatan bisnis) Jakarta. 

###

Tapi sistem "Toll-Go" yang saya maksud diharapkan dapat dikembangkan lebih jauh dari sekedar "electronic road pricing". Sebab "Toll-Go" semestinya juga bisa menjangkau hingga kontrak kesepakatan tingkat pelayanan (service level agreement) yang setara dengan pengorbanan biaya yang dikenakan kepada penggunanya.

Teknologi sesungguhnya telah memungkinkan Indonesia, menerapkan ketentuan sanksi kepada pengelola jalan tol, jika tingkat pelayanan yang diberikan tidak sesuai. Misalnya, karena terjadi suatu "hambatan" di jalan tol karena terjadi kecelakaan yang tidak ditangani sigap; sehingga mengganggu laju kendaraan yang melintas.Aplikasi "Toll-Go" semestinya mampu digunakan untuk mengakomodasi transaksi kompensasi yang menjadi hak pelanggan. Mulai dari pemotongan biaya yang mestinya dibayar saat normal, hingga ketentuan denda yang harus dibayar pengelola jalan tol kepada pelanggan jika penyimpangan pelayanannya menjadi begitu buruk.

"Toll Go" juga bisa dimanfaatkan untuk menetapkan "tarif dinamis". Maksudnya, biaya yang dikenakan kepada pelanggan yang melintas di jalan tol, bukan semata bervariasi karena jarak, tapi sesuai dengan kepadatan lalu lintasnya. Dengan demikian, tarif pada jam sibuk akan berbeda dibanding saat normal maupun sepi.

Dengan demikian "Toll-Go" juga memungkin pelanggan melakukan "pemesanan" perjalanan. Maksudnya, melalui pemesanan lebih awal untuk melintas pada interval waktu tertentu (misalnya 7:00 - 7:15 pagi hari), pelanggan mungkin tidak terkena tarif yang lebih tinggi. Seperti sistem penjualan tiket pesawat hari ini yang menawarkan harga lebih murah ketika masih banyak bangku yang tersedia.

###

Hal lain yang menjengkelkan di jalan tol hari ini adalah ketika mereka harus melakukan perawatan. Jumlah lajur yg tersedia dikurangi karena sebagian tertutup agar pekerjaan perawatan dapat dilakukan. Tapi pelanggan harus membayar tarif yang sama meskipun tingkat pelayan yang diberikan, sangat mudah diantisipasi turun drastis.

Pada kondisi demikian, "Toll-Go" bukan hanya dapat dimanfaatkan untuk memberi kompensasi kepada pelanggan yang melintas, tapi juga memberitahukan dan merekomendasikan rute alternatif yang dapat dilalui.

"Toll-Go" juga mampu mendesak pengelola jalan tol untuk sungguh-sungguh memperhatikan "sistem tanggap darurat" yang harus disediakan. Sebab selama ini, kemacetan yang terjadi ketika terjadi kecelakaan, sering tak sigap ditangani karena keterbatasan perlengkapan yang ada di sekitar lokasi kejadian. Ketentuan sanksi yang harus mereka penuhi jika kontrak tingkat pelayanan standar tak terpenuhi, menyebabkan pengelola jalan tol harus sungguh-sungguh memperhatikan kemampuan sistem tanggap daruratnya. 

### 

"Toll-Go" merupakan salah satu peluang "disrupsi" yang ditawarkan Revolusi Budaya Digital, bukan hanya dalam tata kelola jalan tol, tapi juga sistem transportasi secara lebih luas.

Kembangan lebih jauh dari gagasan ini terbuka sangat luas. Bukan hanya dalam hal financial technologi, tapi juga terhadap strategi mengembangkan layanan angkutan umum massal. 

Sesungguhnya, kuranglah bijaksana membuka keleluasan begitu besar kepada investor jalan tol --- yang mendapatkan keuntungan dari kemacetan yang berkembang, akibat ketidak mampuan Negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya --- tanpa disertai kewajiban "sosial" berpartisipasi dalam pengembangan angkutan massal. 

Lebih jauh lagi, "Toll-Go" memungkinkan inivasi lebih lanjut sehingga Negara bisa kembali ke "khitahnya" menyelenggarakan infrastuktur transportasi untuk kelancaran aktivitas masyarakatnya, baik dalam hal sosial, budaya, maupun ekonomi.

Tapi gagasan "pembuka" ini hanya bisa dilihat dan dipahami oleh mereka yang berfikiran ke depan dan tidak terbelenggu oleh masa lalu. 

Silahkan!

Jilal Mardhani, 23-1-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun