+++
YT, rekan pak AH yang komentarnya menarik perhatian saya itu, tak mampu menutupi sesuatu yang getir. Kegundahan karena terlahir sebagai warga turunan. Mungkin Tionghoa.
'Nama saya sudah Indonesia BANGET sih.'
'Semoga setelah ganti nama SEMAKIN diterima ya'
YT, bersama warga negara Indonesia turunan yang lain --- baik Tionghoa, Arab, India, Portugis, Belanda, Jepang, dan sebagainya --- mestinya tak perlu, tak harus, bahkan tak boleh merasakan kegalauan itu. Sekecil apapun. Setipis apapun.
+++
Bangsa kita memang telah melakukan kesalahan panjang membiarkan --- bahkan mungkin memelihara --- sikap diskriminatif itu. Kebijakan mengganti nama dan tidak memperkenankan penggunaan aksara maupun bahasa leluhur bagi para keturunan Tionghoa sebagaimana yang diulas di atas, adalah salah satu bukti nyatanya.
Pada suatu masa dulu, anak-anak Tionghoa pun pernah tak mudah untuk mengenyam pendidikan di sekolah ataupun perguruan tinggi negeri. Saya tak ingat seorang pun teman sejak Sekolah Dasar hingga Menengah Atas yang Tionghoa. Mereka belajar di sekolah-sekolah swasta yang mayoritas pelajarnya memang segolongan.
Ketika memasuki bangku kuliah di Bandung, walaupun jumlahnya amat sedikit, baru ada beberapa teman yang turunan Tionghoa. Konon, kebijakan demikian memang sengaja dilakukan agar kapasitas tempat yang tersedia diprioritaskan untuk menampung anak-anak 'pribumi'.
Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa bukan hanya dalam akses pendidikan, tapi juga yang lain. Mulai dari kemudahan pengurusan administrasi penduduk di kelurahan hingga soal keamanan dan pengamanan lingkungan tempat tinggal maupun usaha. Sudah menjadi rahasia umum, berbagai anekdot tentang 'pemerasan' dan 'kesemena-menaan' yang sehari-hari harus mereka hadapi. Seandainya tak semua, sebagian guyonan itu sesungguhnya ada juga benarnya.