Mohon tunggu...
Jihan Fahira Nami Harahap
Jihan Fahira Nami Harahap Mohon Tunggu... Mahasiswa

mahasiswa hubungan internasional yang meneliti peran budaya populer dalam politik global dan diplomasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prabowo Sebagai Aktor 'Jalan Ketiga', Akankah Indonesia Menjadi Penengah Dunia Islam?

7 Oktober 2025   18:32 Diperbarui: 7 Oktober 2025   18:32 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia kerap mengklaim diri sebagai suara moderat dalam isu-isu global umat Islam. Namun, kebijakan luar negerinya masih terjerat dalam gestur simbolis tanpa lahir terobosan strategis. Di bawah kepemimpinan baru Prabowo Subianto, terbuka pintu untuk mentransformasi peran Indonesia dari sekadar pendukung isu-isu Muslim menjadi penyedia solusi dalam konflik Palestina, ketegangan Sunni-Syiah, hingga Islamofobia. Artikel ini meyakini bahwa modal unik Indonesia dalam Islam Wasathiyah, kredibilitas non-blok, dan jaringan diaspora yakni dapat membentuk diplomasi "jalan ketiga" yang menjembatani pecah belah yang gagal diatasi kekuatan global arus utama. Tantangannya adalah melompati retorika menuju aksi nyata dengan memfasilitasi dialog, memanfaatkan pengaruh ekonomi, dan mengoptimalkan soft power secara kreatif. Tanpa peta perjalanan yang jelas, ambisi Prabowo berisiko menjadi kesempatan emas yang terbuang bagi Indonesia untuk memimpin perdamaian dunia Islam. 

Presiden Indonesia Prabowo Subianto berbicara dalam KTT Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Palestina di Markas Besar PBB di New York, Amerika Se
Presiden Indonesia Prabowo Subianto berbicara dalam KTT Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Palestina di Markas Besar PBB di New York, Amerika Se

Dalam konstelasi geopolitik global yang semakin kompleks, dunia Islam mengalami polarisasi tajam antara dua kutub, blok Barat yang dikepalai Amerika Serikat dengan antek sekutunya, serta blok Timur yang dimotori China dan Rusia. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dunia, justru terlihat gamang menentukan posisinya. Ironisnya, meski kerap disebut sebagai "modal sosial" dalam berbagai forum internasional, pengaruh nyata Indonesia dalam penyelesaian konflik dunia Islam masih sangat minimal.  Penelitian ini berangkat dari kegelisahan akademik terhadap paradoks tersebut. Di satu sisi, Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menjadi penengah yang kredibel. Di sisi lain, kebijakan luar negeri kita masih terjebak dalam rutinitas diplomatik yang bersifat reaktif dan seremonial belaka. Kehadiran Prabowo Subianto sebagai pemimpin baru membawa angin segar sekaligus lahirnya tanda tanya besar, mampukah figur dengan latar belakang militer kuat ini membawa terobosan dalam memposisikan Indonesia sebagai aktor 'jalan ketiga' yang independen dan efektif?

Realitas pahit yang harus kita hadapi, Indonesia lebih sering menjadi "pemain figuran" ketimbang "sutradara" dalam panggung diplomasi dunia Islam. Data mengejutkan dari Kemlu (2023) menunjukkan 78% pernyataan kita di PBB tentang Palestina berhenti pada retorika, tanpa tindak lanjut nyata. Ini ibarat dokter yang hanya bisa mendiagnosis penyakit tapi tak pernah memberi resep. Namun fakta lapangannya, modal dasar kita sebenarnya lengkap akan Islam moderat ala NU-Muhammadiyah, yang menjadi elixir radikalisme, jaringan ribuan santri di Timur Tengah, hingga posisi strategis sebagai importir gandum terbesar dunia. Ironisnya, semua aset berharga ini seperti pisau tumpul di genggaman koki yang tak terlatih. Tantangan terberat justru datang dari dalam. Birokrasi kita terjebak dalam mentalitas "yang penting sudah bersuara", alih-alih mengejar hasil konkret. Anggaran diplomasi preventif yang hanya 2% dari total anggaran Kemenlu adalah bukti nyata ketidakseriusan ini. Bandingkan dengan Qatar yang mengalokasikan 15% anggarannya untuk diplomasi informal. Kita juga gagal memadukan kekuatan civil society dengan kapasitas negara. Ulama dan santri sebenarnya bisa menjadi ujung tombak diplomasi, tapi koordinasi yang amburadul membuat potensi ini terbuang percuma.

Namun, situasi ini bukanlah stagnasi. Dengan pendekatan pragmatis, Prabowo bisa melakukan lompatan strategis. Pertama, ubah paradigma dari "diplomasi seremonial" menjadi "diplomasi hasil". Tak perlu muluk-muluk, fokus saja pada 2-3 isu prioritas seperti rekonsiliasi Sunni-Syiah di Irak atau gencatan senjata di Gaza. Kedua, manfaatkan kekuatan ekonomi sebagai senjata diplomatik. Negosiasikan setiap impor gandum dan minyak dengan komitmen perdamaian dari negara pengekspor. Ketiga, bangun tim mediasi khusus berisi diplomat karir dan ulama kharismatik. Model hybrid semacam ini akan menjadi pembeda dengan pendekatan Barat atau Timur Tengah. Yang paling penting adalah keberanian mengambil risiko. Diplomasi efektif bukanlah pertunjukan wayang dimana kita hanya menjadi dalang yang tak pernah turun gelanggang. Saatnya Indonesia keluar dari zona nyaman dan benar-benar "kotor tangan" dalam menyelesaikan konflik dunia Islam. Jika Qatar bisa menjadi mediator antara AS dan Taliban, mengapa kita tidak bisa menawarkan "jalan ketiga" ala Nusantara?

KESIMPULAN

Indonesia memiliki semua modal menjadi penengah dunia Islam, tetapi kurang keberanian politik. Prabowo disini perlu membentuk tim mediasi khusus gabungan diplomat ulama,  Gunakan kekuatan ekonomi (impor gandum/minyak) sebagai leverage diplomasi, dan Luncurkan program "Duta Santri Global" untuk diplomasi akar rumput. Prioritas 2 tahun pertama dengan mengalokasikan 10% anggaran Kemenlu untuk diplomasi preventif dan raih satu keberhasilan mediasi nyata. Momentum ini menentukan kita bisa tetap jadi penonton atau pencipta solusi dengan "jalan ketiga" ala Indonesia yang memadukan soft power Islam Nusantara dengan strategi modern. Waktunya bertindak, bukan sekadar bicara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun