Indonesia baru saja merayakan hari kemerdekaan yang ke-80 tahun. Salah satu tujuan kemerdekaan tersebut adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan pembangunan pendidikan yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sesuai dengan konstitusi, semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan bermutu. Pertanyaannya, apakah semua warga negara telah mendapatkan pendidikan bermutu? Tentu jawabannya belum 100 persen.
Pemerintah telah berusaha mewujudkan pendidikan bermutu dengan berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan. Namun, permasalahan pendidikan di negeri ini sepertinya bagai benang kusut. Diantaranya adalah kesenjangan pendidikan, minimnya fasilitas pendidikan, rendahnya kesejahteraan guru (honorer), pemanfaatan teknologi, dan kurang kolaborasi.
Satu langkah positif ketika pemerintah lewat instansi pendidikan berupaya mendengar aspirasi guru, orang tua siwa, komunitas, dan siswa itu sendiri untuk pembenahan pendidikan nasional. Aspirasi ini sangat penting guna mewujudkan pendidikan bermutu untuk semua.
Menurut saya selaku orang tua siswa dan sekaligus pengamat pendidikan, masalah mendasar dalam pendidikan kita adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Permasalahan ini berkembang melahirkan permasalahan yang lain seperti rendahnya kualitas pendidikan dan meningkatnya anak putus sekolah.
Minimnya sarana dan prasaran pendidikan terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, terutama di pelosok desa. Diantaranya adalah keterbatasan gedung sekolah, ruang kelas, ruangan tidak layak pakai, bangku dan meja yang rusak/minim, buku dan perpustakaan, lapangan olahraga, akses internet, dan sebagainya.
Kita sering menyaksikan di media tentang anak-anak di pedalaman yang sulit mengkases  pendidikan karena lokasi sekolah sangat jauh dari rumah siswa. Mereka terpaksa berjalan kaki ribuan meter menuju sekolahnya. Beberapa siswa bahkan harus melewati perairan untuk bisa sampai ke sekolahnya.
Keterbatasan tersebut berdampak buruk pada proses belajar mengajar. Tidak sedikit anak usia sekolah terpaksa putus sekolah. Sebagian dari mereka menjadi buta huruf. Seperti di salah satu kampung di Dusun Kaudani, Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, ratusan anak putus sekolah karena keterbatasan akses pendidikan (Kompas, 2/5/2025). Sepertinya akan sulit mencapai pendidikan bermutu ketika akses terhadap pendidikan masih terbatas.
Tidak hanya di pelosok desa, keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan juga terjadi di kota. Di Depok, kota yang dikenal sebagai kota pendidikan yang berbatasan dengan Jakarta, permasalahan ini terjadi hingga sekarang. Hal ini sangat terasa saat penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah negeri.
Pendidikan di Depok
Pertambahan dan kepadatan penduduk Depok tidak diimbangi dengan penambahan daya tampung siswa (gedung sekolah dan ruangan kelas) di sekolah-sekolah negeri. Justru beberapa waktu yang lalu jumlah sekolah negeri khususnya SD dikurangi.
Sebagai orang tua siswa dari salah satu sekolah dasar (SD) negeri di Depok yang padat penduduk, saya mengamati perkembangan pendidikan di kota ini sejak tiga tahun lalu. Banyak orang tua yang memiliki harapan besar untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri. Sementara daya tampung sekolah negeri tersebut sangat terbatas.
Harapan menyekolahkan anak ke sekolah negeri pada umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi. Sekolah negeri yang gratis menjadi daya tarik utama bagi orang tua siswa, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Namun, harapan itu dibatasi oleh jumlah sekolah dan daya tampung yang terbatas di beberapa titik di Depok.
Beberapa tahun ini, puluhan ribu siswa tidak bisa ditampung di sekolah-sekolah negeri (dasar dan menengah) yang ada di Depok. Sebagian besar siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri tersebut berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.
Dalam penerimaan siswa pada pertengahan tahun lalu, saya mendengar secara langsung keluhan beberapa orang tua yang anaknya tidak bisa ditampung di sekolah negeri. Beberapa dari mereka adalah buruh yang hidup pas-pasan. Bagi sebagian mereka, bisa makan ala kadarnya dan mampu membayar sewa rumah petakan, sudah sangat bersyukur.
Bila siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri, maka pilihan terakhir adalah mengecap pendidikan di sekolah swasta. Bagi keluarga golongan ekonomi menengah ke bawah, memaksakan anaknya mengecap pendidikan sekolah swasta pada ujungnya beresiko putus sekolah.
Biaya pendidikan di sekolah swasta tidaklah murah, mulai dari uang pendaftaran, biaya seragam, iuran bulanan (SPP, buku, dan biaya kegiatan. Secara pribadi, hal inilah yang menjadi salah satu alasan saya menyekolahkan anak di salah satu SD negeri yang kebetulan dekat dari rumah.
Di saat kita berbicara tentang pendidikan bermutu untuk semua, rasanya masih jauh panggang dari api ketika banyak angka putus sekolah. Sepertinya kita masih berjuang di tahap "pendidikan untuk semua", bukan "pendidikan bermutu untuk semua".
Bila semua anak usia sekolah bisa mengecap pendidikan, maka pada tahap selanjutnya adalah pendidikan bermutu untuk semua. Oleh karena itu, masalah mendasar adalah keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan dan akses pendidikan untuk semua warga negara.
Dalam jangka pendek, perlu dicari jalan keluar untuk mencegah anak terancam putus sekolah akibat keterbatasan kuota sekolah negeri. Menurut saya, penambahan gedung sekolah dan ruangan belajar adalah hal mendesak.
Bila daya tampung di sekolah negeri terbatas, perlu diberikan subsidi pendidikan di sekolah swasta bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Pemerintah Kota Depok sudah menggagas program Rintisan Sekolah Swasta Gratis (RSSG) Â di 11 Kecamatan di Kota Depok.
Pada 1 hingga 5 Juli 2025, pemerintah membuka program RSSG di 49 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Hal ini sudah menjadi langkah yang baik untuk menampung ribuan siswa yang terancam putus sekolah.
Tapi pertanyaannya, apakah RSSG benar-benar gratis seperti sekolah negeri? Inilah yang menjadi pertanyaan dan sekaligus kekhawatiran orang tua yang menyekolahkan anaknya di sana. Kita lihat saja dalam perkembangannya. Semoga program ini bukan hanya sekedar mencegah anak putus sekolah.
Jumlah sekolah negeri yang terbatas di Depok saat ini tidak hanya membatasi daya tampung siswa, tetapi membuat suasana belajar kurang nyaman. Bagaimana tidak, sekolah negeri tersebut menampung siswa terlalu banyak.
Di SD negeri yang ruangannya terbatas misalnya, menerima 128 siswa yang dibagi dalam empat kelas. Terbatasnya ruang kelas membuat jam masuk siswa dibagi dalam kelas pagi dan siang hari. Hal ini cukup merepotkan siswa dan orang tua karena jadwal masuk berubah-ubah.
Selain ruang kelas yang terbatas, persoalan lainnya adalah jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas sehingga kurang maksimal dalam proses belajar mengajar. Guru juga tentu memiliki keterbatasan dalam memperhatikan dan mengajar siswa tersebut.
Kondisi tersebut memengaruhi kemampuan siswa, sehingga tidak mengherankan beberapa siswa belum bisa mengikuti pelajaran pada kelas sebelumnya, tetapi sudah naik kelas. Ketika siswa tidak mampu mengikuti pelajaran, tentu membuatnya tidak nyaman ke sekolah. Sekolah sepertinya menjadi penjara, bukan tempat yang menyenangkan.
Persoalan tidak hanya sampai di situ, beberapa sekolah juga tidak memiliki/memfungsikan perpustakaan, toilet terbatas, lapangan sempit, dan sebagainya. Dengan keterbatasan tersebut, rasanya sulit mencapai pendidikan bermutu dan bersahabat bagi siswa. Padahal sekolah-sekolah negeri tersebut merupakan wajah bangsa saat ini.
Untuk menciptakan pendidikan bermutu untuk semua harus dimulai dari dasar atau pendidikan dasar. Pendidikan dasar merupakan fondasi dalam membangun pendidikan nasional yang adil. Semua itu membutuhkan sarana dan parasarana yang maju dan merata.
Sekali lagi, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan merupakan langkah strategis dalam menghadirkan pendidikan bermutu untuk semua.Â
Tujuannya bukan semata-mata untuk meningkatkan daya tampung siswa dan mencegah angka putus sekolah, tetapi menghadirkan pendidikan yang berkualitas.
Penutup
Dalam menciptakan pendidikan bermutu untuk semua, tidak bisa hanya dikerjakan oleh pemerintah. Perlu ada gerakan bersama baik pemerintah, orang tua, guru, komunitas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), media, siswa, dan semua elemen masyarakat untuk mewujudkan pendidikan berkualitas, adil, dan merakyat.
Sebagai orang tua yang menitipkan anak-anaknya di sekolah, perlu terlibat aktif dalam menyampaikan aspirasi pendidikan bermutu untuk semua. Orang tua perlu mendorong, mendukung, dan bahkan mengawasi pemerintah dan pihak sekolah dalam menjalankan amanat konsitusi di bidang pendidikan.
Orang tua juga harus aktif mendukung pendidikan anak mulai dari, serta membangun kolaborasi dengan guru demi masa depan anak-anak. Komunikasi dan kolaborasi yang baik menjadi poin penting dalam mendukung pendidikan anak. Sebab, masa depan anak-anak adalah masa depan bangsa.
Menghadirkan pendidikan bermutu untuk semua merupakan kunci utama untuk membangun bangsa yang unggul dan sejahtera. Namun, semuanya berawal dari "pendidikan untuk semua", dan kemudian dilanjutkankan dengan peningkatan "mutu". Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI