Mohon tunggu...
Yohanes Haryono, S.P, M.Si
Yohanes Haryono, S.P, M.Si Mohon Tunggu... pegawai negeri -

AKU BUKAN APA-APA DAN BUKAN SIAPA-SIAPA. HANYA INSAN YANG TERAMANAHKAN, YANG INGIN MENGHIDUPKAN MATINYA KEHIDUPAN MELALUI TULISAN-TULISAN SEDERHANA.HASIL DARI UNGKAPAN PERASAAN DAN HATI SERTA PIKIRAN. YANG KADANG TERLINTAS DAN MENGUSIK KESADARAN. SEMOGA BERMANFAAT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Logika Argumen

1 Maret 2017   23:45 Diperbarui: 1 Maret 2017   23:48 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak sekali kesesatan logika yang sering dijumpai dalam proses diskusi. Namun, ada jenis argumen yang faktanya sebenarnya bukanlah sebuah argumen, melainkan alat untuk mematikan perdebatan dan memaksa lawan untuk menerima setiap pernyataan si penutur bahkan tanpa melalui diskusi. Ia adalah sebuah metoda melangkahi logika dengan menekankan serangan psikis lawan.

Karena cara ini sangat banyak terjadi, maka perlu dikemukakan agar kita mampu mengidentifikasi dan waspada terhadapnya.

Metoda ini sedikit banyak memiliki kemiripan dengan "ad hominem" namun berbeda secara esensial, di mana "ad hominem" menekankan kepada kesalahan pihak lawan yang bersifat pribadi yang dijadikan sebagai amunisi untuk menjatuhkannya, dan bukan pada bobot konten argument lawan itu sendiri.

Contoh "ad hominem" misalnya, "si A itu orangnya brengsek, maka sudah pasti apa yang dikatakannya salah semua".

Sebaliknya, metoda tekanan psikologis dilakukan dengan mengancam untuk mencurigai karakter lawan dengan argument-nya, sehingga mencurigai argumen tanpa proses perdebatan.

Contoh yang bisa kita kemukakan misalnya, "Hanya orang tidak bermoral sajalah yang tidak bisa melihat bahwa argumen kandidat A adalah salah".

Bisa kita lihat dan bedakan, dalam kasus pertama, imoralitas (ketidak-bermoralan) kandidat A (nyata atau dicari-cari) diberikan sebagai bukti untuk menjatuhkan argumennya. Sedangkan dalam kasus kedua, kesalahan argument-nya ditegaskan secara sewenang-wenang dan disajikan sebagai bukti bahwa lawan debatnya itu tidak bermoral.

Dengan situasi saat ini (baca: Kekinian) di mana orang lebih menekankan persoalan sopan santun (etiket) diruang publik di bandingkan soal etika (antara etiket dan etika tentu saja berbeda), memahami kesalahan logika semacam ini tentu sangat perlu. Kita juga bisa melihat intensitas penggunaan metoda yang disebutkan terakhir (dalam contoh kedua) dalam komunikasi sosial saat ini. Ia harus kita klasifikasi sebagai bentuk kekeliruan logika yang paling massive digunakan. Kita sebut saja itu sebagai "argumen dari intimidasi".

Ciri atau karakteristik dasar "Argumen dari Intimidasi" semacam ini adalah ia menggunakan keraguan-diri terhadap moral orang dan mengandalkan pada sebuah ketakutan, rasa bersalah, atau kebodohan korban. Argumen ini dijadikan sebagai sebuah ultimatum yang menuntut bahwa korban mengecam ide tertentu tanpa diskusi dan di bawah ancaman untuk dianggap rendah secara moral.

Polanya selalu, "Hanya mereka yang jahat-lah, yakni yang tidak jujur, tidak punya hati, tidak peka, bodoh, dll. yang punya ide dan penilaian seperti itu".

Jadilah Pemimpin!!
Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun