Mohon tunggu...
Joshua Liswantoro
Joshua Liswantoro Mohon Tunggu... -

Karyawan Swasta Warga Negara Indonesia tinggal di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mari Kembalikan Kegembiraan Itu!

13 Juni 2014   14:24 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:56 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi penggemar sepak bola, menyaksikan pertandingan saling menyerang lebih menarik daripada menyaksikan permainanan bertahan. Dalam strategi menyerang, saat salah satu pihak menyerang maka pihak lain akan mengeluarkan segala keahlian untuk merebut bola agar bisa menyerang balik. Adu gocek, passing, shoot, dan kerjasama semua harus dilakukan dalam tempo yang cepat. Pertandingan seperti ini lebih menarik untuk dilihat dari pada permainan bertahan. Saling oper dari kaki ke kaki di daerah sendiri untuk sekedar membeli waktu adalah sangat membosankan. Dalam permainan menyerang adrenalin penonton ikut terbawa naik. Ini membawa perasaan unik: kita bisa bersorak, bisa menangis, bisa memaki, bisa terdiam, bisa berjoget. Ini bisa membuat kita merasa lebih pintar bermain dari pada para pemainnya. Pertandingan yang seru membuat kita merasa terlibat, kaki kita spontan ikut menendang, tangan kita spontan bergerak. Jajanan didepan kita bisa terbang berhamburan ketika gol tercetak.

Apa untungnya bagi kita? Kecuali jika kita ikut taruhan, kita hanya akan mendapat rasa senang jika tim kita menang atau sedih jika tim kita kalah. Tidak ada akibat nyata. Tapi kenapa kita mau bersusah-susah menonton pertandingan bola? Kenapa kita mau membeli atribut tim kesayangan yang tidak murah, mencat wajah kita, atau bahkan menggunakan busana seperti orang gila? Jawabannya adalah untuk kegembiraan yang didapat. Menonton bola adalah kegembiraan. Di akhir kompetisi, semua bergembira telah menyaksikan pertandingan yang bagus dan semua mengelu-elukan sang juara. Bahkan kesedihan saat tim kita kalah juga tetap menyisakan kegembiraan untuk dikenang karena kompetisi telah melahirkan juara baru.

Pemilu presiden kali ini adalah kegembiraan lain yang mirip seperti saat kita menonton pertandingan bola. Sangat membosankan jika yang kita lihat hanyalah parade saling memuji diantara para pendukung. Saat menonton debat capres kemaren, kita berharap melihat serangan-serangan dari capres dukungan kita ke lawan, tertawa ketika melihat capres lawan kedodoran, lalu berbalik marah ketika capres dukungan kita diserang. Mungkin kita ikut berkeringat dingin ketika capres kita tampak gugup menjawab pertanyaan. Adrenalin kita juga naik, persis seperti saat kita menonton bola. Ada juga yang tidak berpihak. Tapi mereka ini juga menikmati kegembiraan yang sama, memuji pihak yang menjawab dengan bagus, atau mencela jawaban yang dinilai tidak tepat. Kadang setuju ke salah satu calon, lalu berpindah setuju ke calon yang lain. Kita berkomentar seolah kita lebih pintar dari para capres tersebut. Kita semua menonton dengan kegembiraan. Jalanan menjadi sepi saat debat berlangsung. Bahkan ada digelar acara nonton bareng, persis seperti menonton pertandingan bola. Banyak orang ingin merasakan kegembiraan pesta demokrasi.

Apa dampak nyata kemenangan atau kekalahan capres pilihan kita? Hmmmm.. kali ini saya tidak berani mengatakan tidak ada. Bagi negara maju dimana pelayanan sosial sudah berjalan dengan baik, ekonomi sudah teregulasi dengan baik, pergantian presiden tidak akan berakibat terlalu banyak. Namun bagi negara kita, masih ada terlalu banyak persoalan yang harus dibenahi. Negara kita masih jauh untuk dibiarkan berjalan secara autopilot. Hukum dan penegakan hukum masih jauh dari matang. Faktor siapa presiden yang akan memimpin masih merupakan faktor determinasi yang sangat signifikan. Pilihan kita menentukan kemana negara ini akan dibawa untuk 5 tahun kedepan. Masyarakat kita sadar betul akan hal ini, itulah sebabnya pemilu presiden kita berjalan begitu semarak, melebihi pesta demokrasi dinegara manapun di dunia ini.

Berbeda dengan pertandingan bola, dalam pertandingan ini kita ikut bermain. Dalam pertandingan bola, kemenangan ditentukan oleh keahlian individual pemain, kerjasama team, dan strategi yang diterapkan pelatih. Dalam pemilu presiden, kita yang menentukan siapa pemenangnya.

Ya, kita yang menentukan siapa pemenangnya. Bukan mereka yang bertanding, bukan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK.

Itulah sebabnya sosial media kita begitu intens berisi pertarungan seru antara para pendukung kandidat.

Masa kampanye pilpres belum lama dimulai, masih ada sekitar 30 hari lagi sebelum pemilihan umum digelar. Namun pertarungan di media sosial telah berada pada level yang membuat muak. Beberapa hari terakhir ini mulai bermunculan status kemuakan terhadap komentar-komentar dukungan terhadap capres. "Aku rindu kamu yang dahulu sebelum menjadi jurkam di halaman facebook-ku", demikian kata mereka. Apa yang salah? Kemana kegembiraan itu?

Semua yang berlebihan itu buruk, kata nenek. Halaman kita telah penuh dengan caci maki dan kebencian. Kegembiraan itu hilang karena gool indah, pasing akurat, aksi hatrick, dan tackling bersih telah hilang digantikan oleh black campaign, umpatan dan kata-kata kotor. Bahkan juga sindiran untuk hal-hal yang sama sekali tidak penting. Pertandingan sepakbola menjadi tidak menarik ketika yang kita lihat adalah tawuran antar pemainnya. Dan kita adalah pemain itu.

Permainan pilpres ini unik karena dalam bermain, tujuan kita adalah mengundang penonton untuk ikut bermain di dalam tim kita. Mengundang mereka untuk ikut memilih. Seorang teman berkomentar "Kenapa hanya gara-gara secarik kertas yang terselip di jas kita harus saling memaki?". Ini belum seberapa. Sebuah iklan dukacita beredar menampilkan salah satu capres yang meninggal dunia. Iklan tersebut digambarkan sebagai iklan kematian yang biasa dipasang dikoran oleh kelompok etnis Tionghoa, lengkap dengan nama Chinese dan agama dari capres tersebut. Haloooo.....sadarkah pembuatnya tentang dosa apa bagi para penyebar fitnah???? Kenapa pula di NKRI ini masih digunakan sentimen agama untuk menyerang calon presiden?. Masih banyak lagi fitnah lain yang beredar. Wajar jika banyak orang lalu 'unfollow' group media sosial karena tidak tahan lagi dengan segala fitnah dan caci maki yang beredar. Pesta demokrasi kita telah diciderai, pesta ini telah berubah menjadi ajang demonstrasi kelihaian memfitnah dan menangkis fitnah. Essensi pertandingan untuk menemukan siapa yang terbaik memimpin negeri menjadi hilang. Bagaimana kita bisa memilih dengan baik apabila dasar informasi yang kita punyai adalah semu, berbasis fitnah dan praduga??? Kegembiraan kita telah dicuri.

Saya adalah pendukung Jokowi. Saya tidak ragu memasang no 2 di foto profile saya. Saya bukan penyebar berita bohong dibalik akun anonim. Tapi sebagai pemain saya tidak mau selamanya menjadi centre back. Sudah terlalu banyak energi terbuang untuk menangkis fitnah. Saya akan bermain menyerang. Bukan hanya menyerang, saya akan menyerang dengan tajam. Saya akan melakukan solo run, saya akan melakukan passing, saya akan melakukan hatrick. Saya akan mencetak gol. Tapi saya tidak akan menebar fitnah. Saya tidak mau memaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun