"HUT RI: Antara Anggaran Negara dan Dompet Warga"
Setiap tahun, bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan dengan penuh semangat. Dari upacara kenegaraan yang megah di pusat pemerintahan hingga perlombaan rakyat di tingkat RT dan desa, semua berpadu membentuk wajah meriah bulan Agustus.
Namun, di balik semarak itu, ada realitas yang menarik untuk dicermati. Di tingkat nasional, peringatan HUT RI berjalan dengan anggaran negara. Sementara di tingkat masyarakat, perayaan kerap bergantung pada dompet warga. Dari biaya lomba hingga panggung hiburan, hampir selalu bermula dari sumbangan sukarela---yang tak jarang terasa seperti kewajiban.
Tentu, partisipasi masyarakat adalah hal mulia. Gotong royong menjadi identitas bangsa yang tidak ternilai. Tetapi ketika semangat kebersamaan lebih sering ditafsirkan sebagai pungutan, pertanyaan pun muncul: apakah ini wujud merdeka yang sejati, atau sekadar rutinitas yang membebani?
Kemerdekaan semestinya dirayakan dengan sukacita, bukan keterpaksaan. Kreativitas sederhana, partisipasi sukarela, dan kebersamaan yang tulus justru lebih dekat dengan nilai-nilai proklamasi ketimbang pesta meriah yang dibangun di atas pungutan.
Di sinilah letak ironi itu. Demokrasi kita mengajarkan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun dalam praktiknya, sering kali terasa seperti: dari rakyat, oleh rakyat, tetapi membebani rakyat.
Semoga perayaan HUT RI ke depan tidak hanya menjadi simbol meriah di permukaan, tetapi juga refleksi mendalam: bahwa kemerdekaan sejati adalah ruang di mana rakyat bisa bergembira bersama, tanpa harus mengukur dalam-dangkalnya isi dompet.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI