Masjid itu selalu ramai setiap waktu salat. Jamaah datang silih berganti, sebagian wajahnya tampak penuh ketulusan, sebagian lagi hanya datang untuk sekadar dilihat. Di antara jamaah itu, ada seorang pemuda bernama Beni. Ia dikenal sebagai sosok yang selalu mengenakan pakaian serba putih, jubah, peci, dan terkadang sorban melingkar rapi di kepalanya. Dari penampilannya, orang-orang menyangka Beni adalah pemuda yang alim, rajin ibadah, dan penuh keteladanan.
Setiap kali imam selesai salat, Beni tak pernah absen dari saf terdepan. Bibirnya basah dengan doa dan dzikir, matanya menunduk penuh kepura-puraan. Namun siapa sangka, di balik pakaian sucinya, hatinya menyimpan niat yang berbeda.
Di luar masjid, Beni dikenal gemar membicarakan aib orang lain. Ia sering menilai penampilan jamaah yang sederhana, bahkan menghina mereka yang tidak mengenakan busana Islami sepertinya.
"Lihat itu, bajunya ketat sekali. Bagaimana bisa salat dengan pakaian seperti itu?" gumamnya dengan suara yang sengaja diperkeras, hingga orang lain mendengar.
Beni merasa bangga dengan busana sucinya. Ia percaya, penampilannya akan membuat orang-orang segan. Padahal, hatinya jauh dari cahaya keikhlasan. Ia membaca Al-Qur'an hanya untuk pamer suara indahnya, bukan untuk menghayati maknanya. Ia bersedekah dengan wajah tersenyum lebar, tapi di balik itu ada harapan besar agar namanya dipuji dan disebut-sebut di depan jamaah.
Suatu hari, datanglah seorang ustadz tua dari kota lain. Ustadz itu diundang untuk memberikan tausiyah setelah salat Isya'. Jamaah berkumpul, termasuk Beni yang duduk paling depan, rapi dengan jubah putihnya.
"Saudaraku," suara ustadz itu lembut, "Allah tidak melihat pakaian kita, tidak pula rupa kita. Yang Allah lihat adalah hati kita dan amal yang ikhlas. Berapa banyak orang yang terlihat suci, tapi hatinya penuh dengan kemunafikan. Dan berapa banyak yang berpakaian sederhana, namun hatinya bersinar terang dengan iman."
Beni tersentak. Kata-kata itu seperti anak panah yang menembus dadanya. Ia merasa ustaz itu sedang menyinggung dirinya. Peluh dingin mengalir di keningnya.
Setelah tausiyah selesai, seorang anak kecil menghampirinya. Anak itu miskin, pakaiannya lusuh, dan tangannya kotor karena bermain di tanah. Ia berkata dengan polos, "Kak Beni, aku ingin belajar mengaji. Tapi aku malu, pakaianku jelek."
Beni menatap anak itu. Sejenak hatinya bergetar. Namun gengsi segera menutupinya. Ia malah mengusir anak itu dengan kasar.
"Belajarlah dulu berpakaian yang pantas sebelum masuk masjid!" katanya. Anak itu menunduk, matanya berkaca-kaca, lalu pergi menjauh.