Konseling keluarga telah menjadi salah satu pendekatan utama dalam membantu individu memahami dan menyelesaikan masalah yang berakar dari dinamika rumah tangga. Namun dalam dunia yang terus berubah secara sosial, budaya, dan teknologi, muncul pertanyaan penting: Apakah pendekatan-pendekatan lama dalam konseling keluarga masih cukup relevan? Ataukah sudah saatnya kita mendekonstruksi ulang cara pandang kita terhadap keluarga?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi semakin penting ketika ditempatkan dalam konteks lintas budaya dan internasional, sebagaimana saya alami dalam program International Student Academic Mobility (ISAM) yang diselenggarakan pada Oktober 2024 di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Program yang berlangsung selama 3 hari 2 malam ini mengangkat topik khusus mengenai konseling keluarga dalam perspektif Asia Tenggara dan Islam. Kegiatan ini diawali dengan keberangkatan dari Semarang menuju Jakarta, transit di Singapura untuk kunjungan ke Sekolah Indonesia Singapura (SIS), dan dilanjutkan ke Kuala Lumpur untuk mengikuti pelatihan utama di USIM.
Keluarga sebagai Sistem: Apakah Masih Relevan?
Dalam paradigma klasik, konseling keluarga sering dibingkai dalam kerangka teori sistem: keluarga dipandang sebagai unit yang saling memengaruhi, di mana perubahan pada satu bagian akan berdampak pada keseluruhan. Meski pendekatan ini masih banyak digunakan, realitas sosial menunjukkan bahwa sistem keluarga hari ini jauh lebih kompleks dan dinamis.
Keluarga tak lagi bisa didefinisikan secara sempit sebagai “ayah-ibu-anak dalam satu rumah”. Kita hidup di tengah keberagaman bentuk keluarga: single parent, keluarga campuran, keluarga diaspora, hingga keluarga dengan struktur non-konvensional yang tidak selalu diakui oleh norma mayoritas. Dalam konteks ini, pendekatan sistemik yang tradisional bisa menjadi terlalu normatif dan menyisihkan bentuk-bentuk keluarga yang lain.
Pelatihan di USIM membuka ruang diskusi ini, khususnya melalui lensa nilai-nilai Islam dan budaya Melayu. Keluarga dipandang sebagai institusi moral dan spiritual, yang stabilitasnya menjadi fondasi masyarakat. Nilai-nilai ini penting, namun juga menantang: bagaimana pendekatan yang sarat nilai bisa tetap inklusif?
Paradoks Konseling Berbasis Nilai: Kepekaan atau Kekakuan?
Salah satu poin penting yang muncul dalam pelatihan di USIM adalah integrasi nilai religius dalam praktik konseling keluarga. Di Malaysia, konseling berbasis syariah telah lama menjadi pendekatan resmi, yang menekankan peran-peran ideal dalam keluarga menurut perspektif Islam.
Namun dalam praktik lintas budaya (terutama di masyarakat yang majemuk secara agama dan budaya seperti Indonesia), pendekatan yang terlalu normatif ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan arah dan kejelasan nilai; namun di sisi lain, ia berisiko mengabaikan keberagaman kebutuhan keluarga yang hidup di luar kerangka ideal.
Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh konselor keluarga di masa kini: bagaimana menggabungkan kepekaan nilai tanpa jatuh pada kekakuan moral? Konseling seharusnya tidak menjadi ruang penilaian, tetapi ruang pemulihan dan pemberdayaan—bahkan bagi keluarga yang tidak sesuai dengan definisi dominan.
Konseling Keluarga dalam Era Disrupsi Sosial