Mohon tunggu...
jesika Isabela samiki
jesika Isabela samiki Mohon Tunggu... Mahasiswa

mendengarkan musik,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Desa Tanpa Suara:Generasi Pulang Saat Libur Aja

13 Juli 2025   15:24 Diperbarui: 14 Juli 2025   08:38 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di peta, desa itu masih ada. Letaknya masih di antara sawah luas dan pegunungan yang adem. Jalannya masih berbatu, ada jembatan kecil dan sungai-sungai yang airnya jernih.

 Dulu, anak-anak sering mandi bareng di sungai sepulang sekolah, main sampai puas. Burung-burung pagi masih nyanyi dari pepohonan. Dari luar, desa nggak banyak berubah.

Tapi kalau kamu benar-benar datang dan berdiri di sana, suasananya beda. Sekarang jadi lebih sepi. Ada sesuatu yang hilang, tapi nggak jelas.  Kayak rindu yang nggak tahu harus kemana.

Anak-anak yang dulu ramai main di lapangan sekarang jarang kelihatan. Bukan karena mereka nggak ada, tapi karena mereka sudah pergi merantau. Kota-kota besar manggil mereka dengan janji kehidupan yang lebih baik.

Mereka pergi bukan buat ninggalin, tapi buat cari hidup yang lebih layak. Jadi, desa ini lama-lama ditinggal tanpa ada yang pamit. Rumah-rumah yang dulu rame sekarang sunyi.

Beberapa Ruang kamar dikunci, sisanya ruang  dihuni orang tua yang tinggal sendiri. Anak-anak mereka cuma sesekali pulang, waktu lebaran atau ada acara keluarga, natalan, atau bahkan salah satu dari keluarga telah meninggal dunia. Setelah itu, mereka pergi lagi.

Desa sekarang cuma jadi tempat singgah, bukan tempat tinggal. Orang yang tinggal cuma bisa duduk diem, lihat jalan yang sepi. Mereka sapu halaman, masak buat dua orang, dan berharap ada kabar dari yang jauh.

 Obrolan sore yang dimana duluh perkumpulan para geng yang pernah seribut itu  kini hilang. Yang terdengar cuma suara angin dan daun bergesekan.

Desa nggak berubah bentuk. Tetap seperti dulu. Tapi jiwa-jiwa yang bikin desa hidup sekarang ada di tempat lain. Mereka nggak hilang, cuma pergi pelan-pelan. Kehilangan seperti ini malah lebih sunyi dari kematian, karena nggak ada hari duka, cuma perginya nggak jelas kapan kembali. 

Jadi, memang desa nggak pernah berubah. Tapi penghuninya, yang dulu bikin desa jadi hidup, satu per satu pergi. Tinggal tanah, pohon, dan langit yang menyimpan cerita mereka.

 Nama-nama yang dulu akrab diucap, sekarang cuma jadi suara kecil di antara pepohonan dan jalan yang sepi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun