Mohon tunggu...
Jerry Bambuta
Jerry Bambuta Mohon Tunggu... Konsultan - Christian Nationalism, IT Expertist, Sociopreneur Trainer

Direktur dari MATCON Sulawesi Utara, MATCON adalah akronim dari Mapalus Tech Connection dan merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang IT Development. Secara spesifik, menangani jasa dalam bidang Website Development, Software Development, Rural Network Solutions dan IT Consulting/Training. Di samping itu, berperan sebagai pembina GENTA SAKTI Sulawesi Utara, GENTA SAKTI adalah akronim dari Gerakan Pertanian Desa Produktif yang bergerak dalam gerakan swadaya masyarakat desa dalam pemberdayaan masyarakat petani/nelayan dan pelaku UKM desa. Di luar wilayah Sulawesi Utara, bergerak dalam jejaring GEMPUR atau Gerakan Membangun Papua Produktif, GEMPUR adalah sebuah misi sosial masyarakat Papua yang terfokus untuk membangun literasi dan kemandirian sosial dari generasi muda Papua melalui pemberdayaan kewirausahaan berbasis sumber daya lokal, berbasis jaringan dan berbasis pemberdayaan sumber daya manusia unggul.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Kultur Literasi Digital Masyarakat

12 Oktober 2019   05:57 Diperbarui: 12 Oktober 2019   06:07 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika berbagai hoax dan ujaran kebencian merajalela di berbagai jejaring media social menjelang Pilpres 2019 kemarin, kata "literasi" menjadi cukup popular di sebut di berbagai ruang diskusi atau tulisan di berbagai media. Sebenarnya apa yang di maksud dengan literasi? Dalam bahasa latin, istilah literasi berasal dari kata "literatus" yang mengandung makna orang yang belajar. Menurut kamus Wikipedia, literasi adalah istilah umum yang merujuk pada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang di perlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Seberapa penting kultur literasi dalam kehidupan sebuah masyarakat? Dari uraian pengertian literasi di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kultur literasi akan berdampak pada terbangunnya daya nalar kritis, kompetensi dan kemandirian social masyarakat. Kultur literasi membuat masyarakat mampu mencerna setiap informasi yang ada di sekitarnya secara kritis dan obyektif sehingga tidak mudah terseret informasi menyesatkan yang bersifat destruktif. Kita hari ini hidup di tengah dunia yang "borderless", dimana melalui jejaring internet membuat sekat jarak dan ruang tidak bisa lagi membatasi berbagai arus informasi global berdifusi ke dalam lokalitas masyarakat kita. Dan arus informasi global tersebut memiliki sisi yang bersifat konstruktif tapi ada juga bersifat destruktif. Kultur literasi masyarakat akan sangat berperan penting membangun filter dalam memilah kedua sisi informasi tersebut.

Bagaimana dengan kondisi kultur literasi dalam masyarakat kita hari ini? Cukup memprihatinkan! Dalam satu artikel bertajuk "Indonesia Darurat Literasi" yang di publikasi pada 15 April 2019 melalui situs www.genpi.co mengurai data survey yang di lakukan oleh UNESCO pada tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara di dunia pada level literasi baca. 

Penelitian lain yang di lakukan oleh Programme For International Student Assesment (PISA) di tahun sebelumnya menunjukan angka literasi Indonesia pada level yang minim. Rangking yang di raih Indonesia adalah 62 dari 70 negara. Ketua Umum IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), Rosidayati Rozalina pada tanggal 3 April 2019 di Jakarta menyatakan bahwa minat baca masyarakat kita tergolong rendah. Minat baca kita hanya 1 orang dari 1.000 orang.

Realitas di atas menjadi sebuah tantangan bagi masyarakat kita ketika perkembangan teknologi digital kian tidak terhentikan di sekitar kita. Reportase Kompas pada tanggal 16 Mei 2019 bertajuk "APJJI : Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 171 Juta Jiwa" mengurai data bahwa dari total populasi 264 juta jiwa penduduk Indonesia, ada sebanyak 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8% yang sudah terhubung dengan internet. 

Angka ini meningkat dari tahun 2017 saat angka penetrasi internet di Indonesia tercatat sebanyak 54,86%. Dari seluruh pengguna internet di Indonesia di dominasi oleh usia 15-19 tahun. \

Rentang usia tersebut sangat rentan dengan konten-konten destruktif dalam internet, baik itu pornografi maupun hoax dan ujaran kebencian. Sehingga setiap konten-konten yang beredar di internet akan sangat berdampak besar terhadap pembentukan pola pikir dan karakter mereka.

Ketua Dewan Masyarakat Anti Hoax, Septiadji Eko Nugroho menjelaskan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemekominfo) mencatat ada sebanyak 800.000 situs yang melakukan penyebaran hoax dan hate speech melalui internet di Indonesia. Dari sumber yang sama pula menguraikan bahwa konten hoax yang paling dominan di peroleh dari media sosial mencapai angka 92,4%, angka ini jauh lebih besar daripada hoax melalui situs website sebesar 34,9%, siaran TV sebesar 8,7%, media cetak sebesar 5%, email mencapai 3,1% dan radio 2,1%. Shafiq Pontoh dari Cofounder Provetic  menjelaskan bahwa jenis hoax yang paling dominan adalah isu sosial politik. Berdasarkan hasil penelitian terkait, hoax dalam masalah sosial politik mencapai angka 91,8%, masalah SARA mencapai angka 88,6%, kesehatan mencapai 41,2%, makan/minum mencapai 32,6%, penipuan keuangan mencapai 24,5% dan Iptek mencapai 23,7%.

Di sini kita melihat ketika eforia media social begitu kental di tengah masyarakat kita sedangkan kultur literasi dalam masyarakat sangat minim akan sangat mengancam eksitensi dari identitas dan karakter kebangsaan kita. Media social menjadi "inang" yang paling dominan bersarangnya hoax dan berbagai ujaran kebencian. Dan lebih berbahayanya lagi ketika hoax dan ujaran kebencian tersebut terkonsentrasi dominan pada isu social politik (91,8%) dan SARA (88,6%). Kedua isu tersebut sangat sensitive dan berpotensi memicu konflik horizontal dalam masyarakat. Oleh karena itu, mempertimbangkan potensi-potensi bahaya ini, maka kultur literasi digital di dalam masyarakat kita mutlak kita bangun. Sehingga masyarkat kita akan dengan kritis dan obyektif dalam memilah antara hoax, asumsi subjectif dan fakta objectif.

Kita harus membangun kultur literasi digital secara sehat di tengah masyarakat kita sehingga menjadi penetralisir dari potensi-potensi bahaya yang sudah di uraikan di atas. Membangun kultur literasi digital bisa di lakukan dengan mengembangkan tiga kebiasaan positif dalam penggunaan smartphone. Yang Pertama, kita harus membiasakan diri dengan melakukan validasi data secara kritis dari setiap informasi yang kita terima dari internet, entah itu melalui facebook, youtube, instagram, whatsapp, google,dll. Lakukan "check and balance" untuk menemukan titik obyektifitas dari setiap informasi yang kita terima. Adalah kebiasaan buruk jika informasi yang kita terima langsung kita terima bahkan langsung membagikannya kepada orang lain sedangkan obyektifitas dari informasi tersebut masih di ragukan. Yang Kedua, kita harus bisa memiliki "self control"  dalam penggunaan smartphone supaya tidak terjerat dengan efek adiktif. Riset yang di lakukan oleh lembaga Qualtrics & Accel menemukan bahwa rata-rata generasi milenial mengecek smartphone mereka sebanyak 150 kali setiap hari. Akibatnya smartphone yang harusnya di gunakan untuk efektifitas kinerja menjadi penghambat kinerja. Yang Ketiga, gunakan internet sebagai salah satu referensi literasi untuk menyerap informasi-informasi positif dalam membangun kompetensi inovatif.

Salam Inovasi dan Solidaritas!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun