Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mimpi Bertemu Bidadari Surgawi

18 Mei 2018   13:58 Diperbarui: 18 Mei 2018   14:16 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayangan tentang bidadari surgawi dalam kemolekan tiada tara. (Sumber: mariapeth.com)

Mimpi itu membawaku melayang sebelum akhirnya mendaratkaku di sebuah negeri. Kilau kemegahan menyeliputi diriku. Sorot lampu taman menembus mataku dan membuatnya tertutup, rapat sekali. Kegelapan memelukku di tengah kilau lampu warna warni yang baru saja kulihat sekilas sebelum tubuhku terhempas di taman itu.

Seketika aku berusaha keras membuka mata dan memastikan di mana diriku berada. Kurasa bagian belakang punggungku didorong orang. Dan ketika tanganku merabanya, ada orang yang memang sedang menggeser-geser tubuhku dengan kakinya. Ia memakai sepatu kets.

Apakah dia ini penjaga taman? Ataukah dia penjaga istana? Apakah dia yang selalu setia membuka dan menutup pintu gerbang saban hari ketika sang raja lewat? Atau, jangan-jangan dia adalah pemilik istana ini? Ah, seandainya saja dia pemilik istana, sungguh beruntungnya aku.

Dan aku tetap tidak bisa memastikannya. Mataku belum bisa kubuka. Justru kali ini terasa menjadi semakin sulit dibuka. Karena tidak tahan dengan situasi ini, aku pun berteriak keras, "Hei, siapa kamu?" "Bisakah kamu memberitahu di manakah aku?"

Teriakanku tampak sia-sia. Tapi tiba-tiba saja ada orang lain lagi yang membantu orang yang pertama tadi. Keduanya lalu mengangkatku dan membantuku berdiri. Setelah kedua kakiku bisa menapaki tanah, aku digiring ke dalam istana. Kakiku yang telanjang mulai menapaki lantai ubin yang terasa dingin. Aku terus digiring, sepertinya melewati sebuah lorong panjang. Terdengar pintu dibuka dan kami melewatinya. Tiba-tiba saja aku sudah duduk di sebuah kursi empuk.

Beberapa saat kemudian, mataku sudah bisa dibuka. Melihat sekeliling, dan tidak banyak orang yang bisa kulihat di situ. Hanya ada seorang laki-laki paruh baya dan beberapa perempuan. Sepertinya mereka adalah pembantu laki-laki itu.

Tapi dugaanku salah. Beberapa saat kemudian, seorang perempuan lebih tua usianya dari laki-laki itu, keluar dari pintu belakang. Berjalan sangat gagah dan berwibawa, dia memasuki ruangan tempat aku berdiri. Dia duduk di atas sebuah sofa mewah, tepat di hadapanku.

Seketika dia menatap aku, tajam sekali tatapan itu. Dan aku tak berani berlama-lama menatapnya. Mataku langsung mengarah ke bawah begitu mata kami beradu.

"Siapa namamu," tanya perempuan anggun itu. Suaranya sangat lembut dan keibuan.

"Saya lelaki yang menemukan diri berada di taman ibu, dan sekarang di bawah kemari oleh orang-orang ibu."

"Mengapa kamu ada di tempat ini?" lanjut ibu itu. "Saya tidak tahu, Bu. Saya justru bingung mengapa berada di tempat ini."

"Mengapa harus bingung? Bukankah kamu telah bernasar untuk menjumpai seorang perempuan anggun?"

"Saya tidak bernasar demikian?"

"Kamu berbohong. Saya dengar obrolan kamu dengan teman-temanmu. Saya menangkap kesan, kalian begitu yakin akan bertemu dengan seorang ibu perempuan berparas cantik dan menawan di sebuah istana khayangan. Bukankah itu yang ingin kalian perjuangkan?"

Seketika tubuhku gemetar. Jadi, inilah perempuan itu yang sosoknya begitu dirindukan para pemburu surga? Inikah dia yang kecantikannya telah menghipnotis para pendamba khayangan?

Dan tiba-tiba saja ketakutan luar biasa memenuhiku. Oh, berarti aku sudah mati? Bukankah tempat ini hanya bisa dicapai melalui jalan kematian? Bukankah jalan kematian yang harus dilalui itu adalah jalan yang tidak lazim? Jadi, apakah aku telah menewaskan orang-orang yang kuanggap kafir itu? Berapa banyakkah korban yang telah berjatuhan? Apakah aku sendiri yang melewati jalan itu, atau juga istri dan anak-anakku?

Aku pun berteriak, "Tunjukkan aku berita-berita yang terjadi tiga hari belakangan." Tetapi tidak ada orang di ruangan itu yang mau menuruti permintaanku.

Tiba-tiba saja sekat pembatas di sebelah kiri kami terbuka. Dari dalam ruangan itu kita bisa melihat ke luar, ke sebuah lembah dengan bukit-bukit di sebelahnya tampak kering. Penasaran, aku pun bergerak mendekati tepian tembok itu.

Di sana terhampar sebuah lembah dengan bara api yang menyala-nyala. Ribuan atau mungkin juga jutaan orang terdengar berteriak dari dalam lembah itu. Tangisan mereka terdengar pilu, jauh lebih seram dari lolongan anjing menjelang kematian seseorang di desa kami.

"Itulah tempat bagi mereka yang menempuh jalan tak lazim ke negeri khayangan?"

Tidaaaaaaaaaaaaaak. Saya berteriak sangat keras karena tahu akan segera dikirim ke lembah itu.

Tidak jauh dari situ, sekelompok pemuda tampak menggiring beberapa orang. Mereka sepertinya akan segera dilemparkan ke dalam lembah penuh bara itu.

Yang mengejutkanku, saya mengenal beberapa dari antara orang-orang yang sedang digiring itu. Ada yang dulunya dikenal sebagai tokoh agama, ada juga guru agama, ada juga umat biasa. Mereka itu -- dan saya -- adalah orang-orang yang yakin akan bertemu perempuan jelita di negeri khayangan, melalui jalan kematian tak-lazim.

Tubuhku bergetar, peluh bercucuran membasahi wajahku. "Aku tak sanggup melihat pemandangan ini. Hentikan. Bawalah aku dari sini," teriakku.

Perempuan jelita itu pun memerintahkan pembantu-pembantunya menutupi tirai yang memisahkan kami dengan lembah membara itu.

Dan seketika, perempuan itu berkata kepadaku, "Pulanglah, istri dan anak-anakmu sudah menunggumu. Kamu tetap bisa kembali dan menemui saya, tetapi bukan dengan jalan kematian tak-lazim."

Dan ketika langkahku bergerak menjauhi perempuan itu, lantunan tembang nan indah menemaniku melewati lorong-lorong panjang itu. "Cintaku pada manusia, cintaku pada semesta. Kasihku pada ombak, kasihku pada langit. Kasihku pada manusia mengalahkan kasihku pada bintang dan rembulan. Aku tak mau seorang pun boleh disakiti oleh yang lain. Aku pencipta dan pencinta kehidupan."

Alunan nan merdu pun menghilang di penghujung nyanyian merdu Adzan Subuh. Tubuhku pun menggeliat di antara buah hatiku, istri dan anak-anakku.

Aku pencinta kehidupan. Itu yang kuingat, entah sampai kapan!

Pluit, 18/05/2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun