Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tentang Tuhan, Keterbatasan Nalar, dan Klaim Kebenaran Kita

7 April 2018   21:15 Diperbarui: 1 Juli 2018   20:18 2228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelompok mahasiswa yang presentasi (kiri) mencoba menanggapi pertanyaan saya. Sementara mahasiswa lainnya (kanan) mencoba memahami penjelasan yang diberikan. Foto: Yeremias Jena

Suasana kelas di siang ini terasa hambar. Mahasiswa tampak sibuk dengan dirinya sendiri. Ada yang memainkan gadget, ada yang menatap-hampa ke luar ruangan. Beberapa tampak "ngobrol" dengan teman di sebelahnya. Ada yang meminta izin ke toilet, dan aku tahu, mereka tidak menyukai pembahasan materi.

Dan saya membiarkan suasana ini berlangsung. Saya sekadar ingin tahu, sejauh mana kelompok yang presentasi di depan dapat menguasai kelas. Pikirku, mungkin kelas akan lebih kondusif karena yang menyajikan materi adalah rekan-rekan mereka sendiri. Tetapi kenyataannya kelas tetap tidak bisa dikendalikan.

Ya, seperti biasa! Kelas Pancasila, kelas Kewarganegaraan, dan sejenisnya. Mahasiswa tampak tidak peduli. Toh topik-topik yang dibicarakan sudah banyak kali mereka dengar, malah sejak tingkat sekolah dasar. Jadi, wajar saja kalau mereka ribut. Saya juga tidak bermaksud mengendalikan kelas. Saya memilih untuk memvideokan presentasi mahasiswa.

Seusai presentasi, saya pun bertanya kepada mahasiswa lainnya, "Apakah ada pertanyaan?" "Apakah ada dari antara kalian yang mengajukan keberatan, mengklarifikasi, atau menyangga materi yang sudah dipresentasikan?" Seperti telah kuduga sebelumnya, tidak ada orang yang mengajukan pertanyaan. Bahkan pun ketika saya menunjuk seorang mahasiswa untuk bertanya, pikirannya tampak tidak bekerja dengan baik, sehingga dia tidak punya "bahan" untuk bertanya.

Hari ini, 7 April 2018, materi yang dibahas di kelas berjudul "Beriman Kepada Tuhan" (Believing in God). Dalam konteks kuliah Pancasila, tema ini sebenarnya berhubungan dengan Sila Pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Ketika mempersiapkan kuliah, saya tahu mahasiswa akan kelelahan membaca bab ini, pertama-tama karena jumlah materinya yang banyak (sekitar 17 halaman kertas A4 spasi tunggal). Tetapi lebih dari itu adalah cara penulisan teks itu yang tidak fokus, melebar kemana-mana dengan gaya penuturan yang tidak runtut.

"Menantang" Mahasiswa

Memprediksi suasana kelas bakal jadi seperti ini, saya memilih mendiskusikan tema Tuhan secara lebih filosofis. Ketika menyiapkan kuliah ini, saya menyempatkan diri membaca pemikiran Karl Jaspers mengenai transendensi dan agama. Meskipun tidak membaca secara detail pemikiran filsuf Jerman ini, saya mendapat gambaran besar pemikirannya mengenai transendensi dan agama, dan menurut saya, menarik untuk didiskusikan di kelas.

Penciptaan Adam
Penciptaan Adam
Demikianlah, setelah tidak ada seorang mahasiswa pun yang mengajukan pertanyaan, saya memulai provokasi saya, dengan harapan mahasiswa terpancing untuk berbicara. Dan ini pertanyaan saya (1) mengapa manusia merasa lebih baik percaya pada Tuhan dan memeluk agama tertentu daripada tidak? (2) Jika Tuhan adalah sosok transendental yang mengatasi dan melampaui kefanaan, mengapa Dia perlu memperkenalkan diri -- klaim agama-agama samawi -- dalam identitas tertentu? Bukankah justru pewahyuan diri-Nya dalam identitas tertentu itu memicu pertengkaran antarpemeluk agama, dan sejarah membuktikan demikian, karena klaim kebenaran masing-masing agama?

Mahasiswa tampak terkejut dan tidak mengerti maksud pertanyaan saya. Meskipun demikian, saya mendorong mereka untuk menjawab. Saya katakan bahwa saya tidak akan menilai apakah jawaban mereka itu benar atau salah. Saya hanya tertarik memahami argumentasi yang mereka kemukakan. Bagi saya, ketika seorang mahasiswa mengemukakan argumentasi dan mempertahankan posisinya, itu pertanda positif bahwa dia sedang berpikir. Bagiku itu sudah lebih dari cukup. 

Kelompok yang presentasi berusaha menjawab pertanyaan saya, dan setelah beberapa lama saling menunggu siapa yang akan menjawab, Laurentius Rio Putera Pamungkas pun memberanikan diri menjawab. "Karena dengan beragama kita bisa menjadi orang baik, juga bahwa tidak ada satu agama pun yang mengajarkan keburukan dan permusuhan, jadi agama pasti membuat orang menjadi baik." Dengan lugunya Rio melanjutkan, "Bukan itu jawabannya, ya pak!"

Entah sudah berapa kali saya mendengar jawaban standar dan normatif semacam ini, dan itu membuatku takjub. Doktrin dan ajaran yang dikemukakan guru-guru agama ternyata rupanya telah berhasil "memenjarakan" pemikiran orang-orang muda ini sebegitu rupa sehingga mereka tidak melihat kemungkinan lain untuk berpikir secara berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun