Intinya, "kualitas primer" itu kualitas yang melekat sebagai sifat hakiki dari sesuatu, sementara "kualitas sekunder" itu kualitas, sifat, dan hal semacamnya yang bersifat eksternal, "tempelan" dari luar, tidak menunjukkan hal, sifat, bagian hakiki dari fenomena yang sedang diketahui.
Menghadapi pertanyaan seperti ini, mahasiswi itu pun terdiam. Karena lama menunggu dan jawaban yang diharapkan tidak keluar juga, saya lalu berusaha memancing dia dengan mengutarakan adagium ini. Tanya saya, "Apakah yang bisa Anda katakana jika membaca atau mendengar orang berkata, 'Jangan menilai orang berdasarkan tampilan luarnya.'"
"Ow.... Ya pak, saya tahu. Itu artinya kita tidak boleh menilai apakah seseorang itu baik atau buruk berdasarkan penampilannya, juga ketika kita belum terlalu mengenal orang itu."
Nah, itu kamu tahu. Coba sekarang dihubungkan dengan distingsi "kualitas primer" dan "kualitas sekunder" dengan profesi psikologi atau dengan relasi antarmanusia.
"Menurut saya, dalam berelasi dengan orang lain, saya harus membangun relasi itu secara lebih mendalam supaya bisa mengenal orang tersebut apa adanya. Demikianlah, dalam relasi atau terapi psikologi, misalnya, saya tidak bisa serta merta mengatakan kepada seseorang bahwa dia mengalami gangguan psikis A atau B jika saya belum mengenal secara cukup tepat dan mendalam mengenai masalah yang sedang dia hadapi."
Sambil mengafirmasi mahasiswi itu, saya bilang padanya, "Lah... itu bisa. Kamu bisa menjawab. Mengapa dari tadi tidak kamu lakukan demikian?"
Imajinasi dalam Berpikir
Sudah lebih dari 15 tahun saya berprofesi sebagai pendidik (dosen) dan saya berani mengatakan bahwa daya berpikir kreatif mahasiswa semakin menurun. Perlu ada penelitian lebih mendalam untuk mendeteksi faktor penyebabnya, tetapi dugaan saya adalah karena telah terjadi apa yang saya istilahkan sebagai "saintisasi ilmu pengetahuan" dan cara belajar hafalan (drilling) demi mencapai Standar Kompetensi dan Ujian Nasional di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah.Â
Saya menduga, sistem pendidikan kita telah membuat anak-anak menjadi robot dan mengadopsi cara berpikir monolitik sebegitu rupa sehingga itu menyulitkan mereka keluar dari pakem berpikir yang sudah mereka adopsi. Mereka tidak berani berpikir "out of the box".
Jika betul dugaan saya, keadaan ini akan sangat berbahaya. Inilah bahaya cara berpikir positivistik yang tingkat keparahannya sudah sangat akut. Jangankan filsafat, mereka mungkin juga mengalami kesulitan yang sama ketika memelajari sastra atau seni.Â