Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filsafat Tanpa Imajinasi?

6 Desember 2017   09:54 Diperbarui: 6 Desember 2017   10:27 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi ujian lisan filsafat ilmu (5/12/2017). Foto diambil dengan persetujuan mahasiswa.

Intinya, "kualitas primer" itu kualitas yang melekat sebagai sifat hakiki dari sesuatu, sementara "kualitas sekunder" itu kualitas, sifat, dan hal semacamnya yang bersifat eksternal, "tempelan" dari luar, tidak menunjukkan hal, sifat, bagian hakiki dari fenomena yang sedang diketahui.

dokpri
dokpri
Berangkat dari pemahaman sederhana tetapi cukup tepat inilah saya kemudian bertanya kepada seorang mahasiswi lainnya di samping mahasiswi yang menjawab itu. Tanya saya, "Nak... kamu kan nanti jadi psikolog. Apakah pembedaan mengenai kualitas primer dan kualitas sekunder seperti itu dapat diaplikasikan dalam profesi psikologi, misalnya dalam relasi antar-manusia?" 

Menghadapi pertanyaan seperti ini, mahasiswi itu pun terdiam. Karena lama menunggu dan jawaban yang diharapkan tidak keluar juga, saya lalu berusaha memancing dia dengan mengutarakan adagium ini. Tanya saya, "Apakah yang bisa Anda katakana jika membaca atau mendengar orang berkata, 'Jangan menilai orang berdasarkan tampilan luarnya.'"

"Ow.... Ya pak, saya tahu. Itu artinya kita tidak boleh menilai apakah seseorang itu baik atau buruk berdasarkan penampilannya, juga ketika kita belum terlalu mengenal orang itu."

Nah, itu kamu tahu. Coba sekarang dihubungkan dengan distingsi "kualitas primer" dan "kualitas sekunder" dengan profesi psikologi atau dengan relasi antarmanusia.

"Menurut saya, dalam berelasi dengan orang lain, saya harus membangun relasi itu secara lebih mendalam supaya bisa mengenal orang tersebut apa adanya. Demikianlah, dalam relasi atau terapi psikologi, misalnya, saya tidak bisa serta merta mengatakan kepada seseorang bahwa dia mengalami gangguan psikis A atau B jika saya belum mengenal secara cukup tepat dan mendalam mengenai masalah yang sedang dia hadapi."


Sambil mengafirmasi mahasiswi itu, saya bilang padanya, "Lah... itu bisa. Kamu bisa menjawab. Mengapa dari tadi tidak kamu lakukan demikian?"

Imajinasi dalam Berpikir

Sudah lebih dari 15 tahun saya berprofesi sebagai pendidik (dosen) dan saya berani mengatakan bahwa daya berpikir kreatif mahasiswa semakin menurun. Perlu ada penelitian lebih mendalam untuk mendeteksi faktor penyebabnya, tetapi dugaan saya adalah karena telah terjadi apa yang saya istilahkan sebagai "saintisasi ilmu pengetahuan" dan cara belajar hafalan (drilling) demi mencapai Standar Kompetensi dan Ujian Nasional di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. 

Saya menduga, sistem pendidikan kita telah membuat anak-anak menjadi robot dan mengadopsi cara berpikir monolitik sebegitu rupa sehingga itu menyulitkan mereka keluar dari pakem berpikir yang sudah mereka adopsi. Mereka tidak berani berpikir "out of the box".

Jika betul dugaan saya, keadaan ini akan sangat berbahaya. Inilah bahaya cara berpikir positivistik yang tingkat keparahannya sudah sangat akut. Jangankan filsafat, mereka mungkin juga mengalami kesulitan yang sama ketika memelajari sastra atau seni. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun