Mohon tunggu...
Jennifer Kristal
Jennifer Kristal Mohon Tunggu... -

Just an ordinary person who loves writing

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kenapa Sih Harus JK?

20 Mei 2014   03:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:21 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usai deklarasi cawapres Jokowi tadi siang, saya hanya tercenung. Bukannya kaget dengan keputusan JK sebagai cawapres Jokowi itu, tetapi karena saya merasa kecewa. Kenapa harus JK?

Memang, selama ini Jokowi kerap memberi sinyal calonnya itu Jusuf Kalla, seperti beliau pernah bilang kalau cawapresnya itu berasal dari Makassar, inisialnya J, bahkan partai Nasdem sebagai partai yang berkoalisi dengan PDIP pernah mengatakan kalau calon Jokowi itu yang pernah datang ke markas Nasdem (JK dan Mahfud pernah berkunjung ke Nasdem).

Bukannya saya tidak bisa menduga siapa calon yang bakal dipilih Jokowi itu. Tapi, diantara sederetan nama kandidat cawapres yang cemerlang dan berusia relatif muda, kenapa Jokowi justru memilih Jusuf Kalla? Saya tadinya masih berharap Jokowi berani memilih karakter muda seperti dirinya. Karena bagaimana pun, faktor kesenjangan usia sangat menentukan dalam bekerja sama. Sekarang mungkin belum kelihatan, tapi ke depannya sedikit banyak akan menyulitkan. JK dengan segala kelebihannya itu, bukan tidak mungkin ketakutan Matahari Kembar itu akan terjadi.

Tadinya saya sudah senang muncul Jokowi, sebuah wajah baru yang bersih, berkarisma yang berpotensi memimpin negara ini, namun melihat Jusuf Kalla sebagai cawapresnya, saya kok seperti kembali ke masa silam era pemerintahan terdahulu? Nothing is new. Walau sudah lama JK dikenal di dunia politik (mantan wapres SBY), entahlah, saya kok nggak pernah merasa “He’s the one”?  Beda dengan Jokowi yang langsung bisa merebut hati masyarakat dari semua golongan.

Munculnya Jokowi sebagai capres yang diusung partainya (meski masih muda dan minim pengalaman), mendorong saya untuk percaya kalau Jokowi juga bisa mendobrak stigma yang selama ini dianut. Barangkali di alam bawah sadar saya berpikir kalau Jokowi itu semacam superman yang bisa menentukan keputusan sendiri, disetujui atau tidak oleh partai-partai yang mengusungnya. Mungkin saya terlalu berharap banyak pada capres unggulan PDI-P itu. Atau mungkin saya berpikir Jokowi itu titisannya Obama yang bisa memilih pendampingnya, Joe Biden meski partai-partai tak mendukung…

Nyatanya, saya salah. Jokowi tetaplah manusia biasa. Dan politik sekali lagi tetap saja politik. Saya yakin ada banyak pertimbangan politik dalam penentuan JK sebagai cawapres Jokowi. Kalau hanya sisi personal saja, mungkin Jokowi akan lebih memilih Ahok, yang dia bilang typical pasnya itu, atau Abraham Samad, atau mungkin Mahfud MD atau Sri Mulyani. Masalahnya, semuanya terkait pada, apakah partai-partai mengusung mereka? Dan partai-partai yang mengusung itu juga punya kepentingan politik sendiri. Barangkali Jusuf Kalla dianggap satu-satunya sosok yang mampu memenuhi kepentingan politik dari semua partai yang mengusung Jokowi.

Ya sudahlah, deklarasi sudah dilakukan, diterima atau tidak oleh masyarakat. Tahun ini, mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah Pilpres, saya tidak akan menjatuhkan pilihan pada siapa-siapa, karena saya tidak mau memilih sesuatu yang tidak saya yakini sepenuh hati.

Saya hanya berharap siapa pun pemimpin yang terpilih nanti agar bisa menjadi “diri sendiri” dalam membuat keputusan untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan partai atau golongan.

Peace!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun