Punggungan Sempit dan Tebing Curam; Di beberapa bagian jalur, pendaki harus melewati punggungan yang sempit dengan jurang dalam di sisi kiri dan kanan. Kurangnya fokus atau dorongan angin kencang bisa sangat berbahaya. Turunan Curam Menuju Danau Segara Anak; Jalur turun menuju Danau Segara Anak, baik dari Sembalun maupun Senaru, dipenuhi batuan curam dan licin, yang memerlukan kehati-hatian ekstra.
2. Kondisi Cuaca yang Tidak Terduga
Perubahan Cuaca Drastis; Cuaca di Rinjani dapat berubah sangat cepat dan tak terduga dalam hitungan menit. Dari cerah, tiba-tiba turun kabut tebal, hujan, atau bahkan badai. Kabut Tebal; Kabut dapat mengurangi visibilitas secara drastis, terkadang hanya beberapa meter. Ini membuat pendaki sulit melihat jalur, penanda arah, atau potensi bahaya seperti jurang di depan mereka.
Angin Kencang; Di Plawangan hingga puncak, angin Rinjani bisa sangat kencang, bahkan sekuat badai. Dorongan angin dapat membuat pendaki kehilangan keseimbangan dan berisiko terdorong ke arah jurang. Suhu Dingin Ekstrem dan Hipotermia; Terutama di malam hari atau saat cuaca buruk, suhu dapat turun sangat drastis, meningkatkan risiko hipotermia (suhu tubuh terlalu rendah) jika pendaki tidak dilengkapi pakaian hangat dan perlengkapan memadai.
3. Faktor Human Error (Kesalahan Manusia)
Kelelahan dan Kurangnya Persiapan Fisik; Pendakian Rinjani memerlukan stamina prima karena durasi pendakian yang panjang dan elevasi yang signifikan. Banyak pendaki yang memaksakan diri tanpa latihan fisik yang cukup atau kurang beradaptasi dengan ketinggian. Hal ini dapat menyebabkan penurunan konsentrasi, keseimbangan, dan koordinasi gerakan, sehingga meningkatkan risiko terjatuh. Dehidrasi akibat kurang minum juga memperparah kondisi ini. Kurangnya Pengalaman dan Pengetahuan Pendakian; Pendaki yang baru pertama kali mendaki gunung atau kurang memahami medan Rinjani rentan terhadap bahaya. Mereka mungkin tidak tahu cara melangkah yang benar di jalur pasir, tidak bisa membaca peta, atau tidak peka terhadap perubahan cuaca.
Kelalaian atau Hilang Konsentrasi:; Terkadang, kecelakaan terjadi karena pendaki lengah, seperti terlalu fokus mengambil foto, berjalan sambil menggunakan ponsel, atau tidak memperhatikan pijakan saat beristirahat. Berjalan Sendiri atau Terpisah dari Rombongan; Ini adalah penyebab fatal paling umum. Pendaki yang memutuskan untuk berjalan sendirian di luar pengawasan pemandu, terutama di area yang tidak dikenal atau saat cuaca buruk, sangat berisiko tersesat atau mengalami kecelakaan tanpa ada yang mengetahui.
Persiapan Perlengkapan yang Tidak Memadai; Kurangnya pakaian hangat, jas hujan, senter, alat navigasi (kompas/GPS), atau perbekalan makanan dan air yang cukup dapat memperburuk situasi darurat. Mengabaikan Peringatan dan Aturan; Beberapa pendaki mengabaikan imbauan pemandu, rambu peringatan, atau peraturan TNGR, seperti nekat mendaki saat jalur ditutup atau masuk ke area terlarang.
4. Faktor Eksternal dan Manajemen Risiko
Kualitas Pemandu/Porter yang Bervariasi; Meskipun ada pemandu yang sangat berpengalaman, tidak semua memiliki sertifikasi lengkap untuk penanganan medis darurat atau navigasi tingkat lanjut. Pengawasan yang kurang ketat dari pemandu terhadap setiap anggota rombongan juga bisa menjadi masalah. Keterbatasan Infrastruktur Keselamatan; Ketiadaan pagar pengaman di semua titik rawan, minimnya shelter darurat di jalur puncak, serta keterbatasan titik komunikasi di area blank spot dapat menghambat respons cepat saat terjadi kecelakaan.
Sistem Peringatan Dini Cuaca yang Belum Optimal; Â Meskipun BMKG menyediakan informasi cuaca, perubahan mikro-iklim di ketinggian seringkali sangat cepat dan lokal, dan sistem peringatan dini yang terintegrasi langsung ke pendaki atau pemandu di lapangan mungkin belum sepenuhnya optimal. Dengan memahami faktor-faktor ini, diharapkan para pendaki dapat melakukan persiapan yang lebih matang dan TNGR serta pihak terkait dapat terus meningkatkan standar keselamatan demi meminimalisir risiko kecelakaan di Gunung Rinjani.