Banjir Bukan Sekedar Genangan, Tapi Cerminan Kerapuhan Kota
Banjir kembali menyapa Jakarta dan wilayah sekitarnya pada awal Maret 2025. Bagi sebagian besar warga, peristiwa ini barangkali telah menjadi agenda musiman yang datang nyaris tanpa undangan - seperti tradisi tahunan yang melelahkan. Namun, banjir kali ini bukan banjir biasa. Curah hujan yang ekstrem, sistem drainase yang tak mampu menampung debit air, alih fungsi lahan yang terus terjadi, hingga buruknya koordinasi antardaerah, semuanya berpadu menciptakan salah satu bencana banjir paling parah dalam sejarah Jabodetabek dalam beberapa tahun terakhir.Â
Air yang menggenang bukan sekedar air hujan yang tak sempat mengalir. ia adalah refleksi nyata dari tumpukan masalah sistemik yang belum terselesaikan. Mulai dari tata ruang yang semrawut, pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, hingga kebijakan mitigasi bencana yang stagnan. Banjir kali ini menyampu tak hanya rumah dan jalanan, tetapi juga menyapu ilusi bahwa kita sudah siap menghadapi bencana.Â
Fakta dan Data Lapangan: Potret Dampak Banjir Jabodetabek 2025
(Berdasarkan Data BMKG, BNPB, DPR RI, DAN Kompas.com)
Berdasarkan hasil pemantauan resmi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta dokumen resmi Pusat Penelitian DPR RI (Maret 2025) dan pemberitaan media seperti Kompas.com, berikut adalah fakta - fakta terverifikasi terkait bencana banjir besar yang melanda wilayah Jabodetabek pada 2 hingga 6 Maret 2025:
1. Curah Hujan Ekstrem dan Anomali Cuaca
BMKG mencatat bahwa itensitas curah hujan selama banjir sangat tinggi. di Pos Pemantauan Katulumpa, Bogor, curah hujan mencapai 232mm/hari, menjadikannya salah satu titik tertinggi dalam periode musim hujan 2025. Sementara itu, di wilayah Bekasi, itensitas hujan berkisar antara 94 hingga 141mm/hari pada puncaknya, yaitu 3 dan 4 Maret 2025. Angka ini masuk dalam kategori hujan sangat lebat menurut klasifikasi BMKG.
Penyebab utama dari hujan ekstrem tersebut adalah terbentuknya fenomena atmosfer Mesoscale Convective Complex (MCC), yaitu sistem awan besar dan tebal yang menghasilkan hujan lebat dalam waktu panjang. BMKG juga mengidentifikasi dukungan dari gelombang Rossby Ekuator, serta adanya sirkulasi siklonik di Samudra Hindia bagian selatan Indonesia, yang memperparah kondisi atmosfer menjadi sangat labil, hangat, dan lembap kondisi ideal untuk pembentukan badai hujan skala luas.
2. Wilayah - Wilayah Terdampak BanjirÂ