Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Period Poverty, Sulitnya Akses Produk dan Pengetahuan Menstruasi di Indonesia

17 April 2021   23:49 Diperbarui: 9 April 2022   06:51 5525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembalut | Foto diambil dari Shutterstock via Kompas

Di kota-kota besar di Indonesia, produk kebutuhan menstruasi mudah ditemukan walaupun untuk harga yang mahal. Namun jika kita bandingkan dengan kota-kota kecil hingga pedesaan di Indonesia, bukan hanya mahal namun juga produk tersebut tidak tersedia. 

Salah satu subtitusi perempuan pedesaan Indonesia adalah pembalut kain yang sebenarnya ramah lingkungan dan murah. Sayangnya masih banyak perempuan yang masih menggunakan tisu, koran, pasir, daun hingga kulit pohon yang berbahaya. Akses air yang bersih juga menjadi salah satu permasalahan dari period poverty di pedesaan Indonesia. 

Bagaimana kondisi period poverty di Indonesia?

Pada tahun 2015, sebuah survei berjudul "Menstrual Hygiene Manegement in Indonesia: Understanding Practices, Determinants and Impacts Among Adolescent School Girls" dilakukan oleh UNICEF bersama dengan Burnet Institute, SurveyMETER, WaterAid Australia dan Aliansi Remaja Independen.

Survei dilakukan terhadap 1.402 perempuan dari 16 sekolah di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Papua dan Nusa Tenggara Timur. Survei ini menemukan 7 poin kesimpulan dari kondisi perempuan di Indonesia, yaitu:

1. Kurangnya pengetahuan tentang menstruasi memberikan kontribusi kuat terhadap kurangnya persiapan ketika mengalami menstruasi pertama. Ini menyebabkan banyak perempuan merasakan ketakutan, kebingungan, kecemasan dan rasa malu.

2. Keyakinan bahwa menstruasi adalah darah kotor hasil pembersihan racun dan kotoran dalam tubuh yang salah, karena darah menstruasi adalah hasil peluruhan dinding rahim. Pengetahuan yang salah kemudian menyebabkan proses manajemen kebersihan yang salah juga, seperti cara membuang pembalut sekali pakai. 

3. Fasilitas air bersih, sanitasi dan higienitas yang tidak memadai di sekolah menyebabkan keengganan perempuan untuk mengganti pembalut yang sudah kotor. Ditemukan banyak perempuan memilih mengganti pembalut setelah pulang sekolah atau lebih dari delapan jam (idealnya 4 jam sekali).

4. Merahasiakan menstruasi karena rasa takut dan cemas akan darah menstruasi yang bocor. Hal ini menyebabkan kurangnya partisipasi di kegiatan sekolah, seperti engan berdiri di depan kelas atau mengikuti pendidikan jasmani.   

5. Risiko kesehatan terkait infeksi yang tinggi. Jarang mencuci tangan dan menggunakan air atau sabun yang tidak bersih meningkatkan risiko infeksi saluran reproduksi dan infeksi saluran kemih. Survei juga menemukan ketidaknyaman, iritasi dan gatal karena pengunaan pembalut dalam waktu lama. 

6. Nyeri dan gejala menstruasi seperti kelelahan, mood swings dan sakit kepala yang mengurangi partisipasi dan kinerja murid perempuan di sekolah. 1 dari 7 anak di survei tersebut memilih bolos sekolah karena gejala menstruasi.  Jika seorang anak perempuan bolos setiap kali menstruasi, mereka akan tertinggal 145 hari dibandingkan murid laki-laki.

7. Hubungan antara murid perempuan dengan murid laki-laki. Ditemukan bahwa perempuan sangat merahasiakan seputar menstruasi dan menjaga jarak dengan teman laki-lakinya karena takut diejek. Menurut data Plan Internasional Indonesia, 39% anak perempuan pernah diejek temannya saat menstruasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun