Mohon tunggu...
Jeni Adrianti
Jeni Adrianti Mohon Tunggu... Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sopan atau Kurang Ajar?, Penggunaan Bahasa Indonesia dan Bias Etnolinguistik dalam Kelas Muatan Lokal

29 Juni 2025   16:10 Diperbarui: 29 Juni 2025   15:09 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Jangan gunakan Bahasa Indonesia ketika pelajaran Bahasa Jawa"

Mempelajari suatu bahasa tentunya sangat menyenangkan terutama ketika mempelajari bahasa daerah. Dengan mempelajari suatu bahasa daerah maka kita lebih merasa diterima dalam suatu masyarakat. Namun, bagaimana jika seorang siswa belum pandai menguasai bahasa daerah tersebut dan justru mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari guru bahasa daerah itu? Tentunya hal tersebut sangat menarik untuk dibahas.

Pendidikan di Indonesia biasanya memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum mereka. Misalnya dalam pelajaran Bahasa Jawa, guru mewajibkan siswanya untuk berbahasa Jawa khususnya Bahasa Jawa Krama inggil. Permendikbud No.79 Tahun 2014 Pasal 4 Ayat 1 menjelaskan bahwa terdapat bahasa masuk ke dalam muatan lokal. Adanya kebijakan tersebut ditujukan supaya siswa dapat mengembangkan kompetensi yang telah disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah khususnya keunggulan daerah. Dalam muatan lokal juga terdiri dari berbagai bentuk salah satu diantaranya terdapat Bahasa Daerah salah satunya Bahasa Jawa. Dengan demikian, Bahasa Jawa masuk ke dalam kurikulum yang disesuaikan sesuai dengan ciri khas daerahnya dan yang mempunyai wewenang dalam menetapkan hal tersebut adalah Pemerintah Daerah.

Akan tetapi, dalam kelas Bahasa Jawa sering terjadi bias yang dilakukan oleh Guru Bahasa Jawa dimana guru tersebut cenderung menyukai murid yang lancar berbahasa Jawa dan mempunyai latar belakang suku jawa dibandingkan dengan siswa yang bukan orang jawa khususnya yang belum lancar berbahasa Jawa. Menurut Skutnabb-Kangas (2000), dalam sistem pendidikan dapat terjadi genosida linguistik yang secara tidak langsung dapat menyebabkan anak terpaksa melepaskan bahasa ibu mereka dan tentunya hal itu dapat menyebabkan identitas mereka terhilang. Garcia (2009) menjelaskan bahwa bias terhadap bahasa minoritas yang terjadi dalam pendidikan seperti sekolah dapat menghalangi siswa dalam mengakses pembelajaran yang adil dan bermakna. 

Di Semarang terdapat kasus yang menyangkut hal tersebut dimana siswa Tionghoa dituntut untuk berbahasa Jawa Krama oleh Guru Bahasa Jawanya meskipun siswa tersebut tidak mempunyai latar belakang Bahasa Jawa. Apabila siswa tersebut tidak menggunakan Bahasa Jawa maka akan dianggap kurang sopan (Karinawati, 2017). Studi tersebut menunjukkan bahwa saat guru menstandarisasi Bahasa Jawa sebagai bahasa utama tanpa memperhatikan keragaman yang ada pada siswa tersebut maka akan memberikan dampak yang sangat terasa. Apalagi ketika siswa tersebut mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan siswa yang fasih berbahasa Jawa Krama. Hal itu menunjukkan terjadinya ketimpangan cara pandang budaya oleh guru mulok. Bourdieu (1991) menjelaskan bahwa bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi akan tetapi lebih dari sekedar itu. Hal ini dapat diperhatikan dengan ketimpangan yang terjadi di salah satu sekolah dimana siswa yang dapat berbahasa Jawa Krama akan dianggap sopan sedangkan siswa yang asalnya dari luar jawa akan merasa asing dan merasa dicap sebagai anak yang kurang ajar karena memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Menurut James Banks (2008), seharusnya guru perlu menerapkan metode pengajaran yang dapat menerima berbagai latar belakang budaya siswa agar dapat memberikan ruang bagi siswa yang berbeda latar budayanya. Apabila perangkat sekolah saja tidak sadar akan hal itu dan tidak mengerti akan hal itu maka pendidikan bukan menjadi tempat berintegrasi melainkan menjadi tempat yang memaksakan persamaan. Mereka yang tidak terbiasa dengan Bahasa Jawa Krama maka akan memilih diam ketika kelas Bahasa Jawa yang diamnya siswa tersebut bukan disebabkan oleh ketidaktahuan akan tetapi cenderung takut akan disalahkan saat pengucapannya salah, takut akan ditertawakan oleh teman-temannya, maupun takut akan ditegur keras oleh guru tersebut. Dengan begitu, jalan yang paling aman dan dapat berfungsi untuk perlindungan diri yaitu dengan diam.

Dengan kejadian tersebut, siswa itu akan kehilangan rasa percaya dirinya karena mendapatkan tekanan dari lingkungan kelasnya yang kurang memahami konsep toleransi dan multikultural. Apalagi saat pelajaran Bahasa Jawa, anak yang berbahasa indonesia akan dianggap tidak sopan karena di lingkungan sekolahnya terdapat anggapan bahwa kedudukan Bahasa Jawa dianggap lebih tinggi dibandingkan bahasa indonesia. Adapun sikap guru yang cenderung menyukai siswa yang dapat berbahasa Krama dengan lancar menyebabkan siswa yang tidak dapat berbahasa Krama dapat membentuk hierarki sosial di dalam kelas dan siswa tersebut akan merasa dimarjinalkan karena mempunyai latar budaya yang berbeda. 

"When students' languages and cultures are not valued, they receive a message that they themselves are not valued." (Sonia, 2010)

 Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa guru yang mengabaikan bahasa budaya siswa dengan menjadikan Krama Jawa sebagai yang penting dan mengesampingkan Bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya maka siswa itu akan merasa kurang dihargai. Dengan begitu, kemampuan linguistik mereka, harga diri, dan identitas mereka disinggung. Apalagi pengajaran yang disertai dengan kritikan tajam atau membandingkan dengan siswa yang lain justru akan membuat pembelajaran itu tidak bermakna karena kurangnya pengertian sang guru dan kurang sadarnya budaya yang berbeda. Seharusnya, sekolah dapat menjadi tempat yang digunakan untuk menghargai perbedaan latar budaya siswa karena anak-anak tidak hanya mempelajari dari apa yang diajarkan akan tetapi mereka juga mempelajari juga cara guru dalam memperlakukan siswanya. Dengan begitu, guru harus lebih memperhatikan cara mereka bersikap dan mementingkan siswa untuk mendapatkan keadilan dalam pembelajaran tersebut sehingga dapat membuka cara berpikir anak-anak. 

Daftar Pustaka

Banks, J. A. (2010). An Introduction to Multicultural Education (5th Edition).

Bordieu, P. (1991). Language and Symbolic Power.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun