Ditulis oleh:
Nama: Jene Rika Eviliana
NIM: 232111213
Program Studi: Hukum Ekonomi Syariah
Tanggal: 28 April 2025
Tautan Jurnal Sumber:
https://via.library.depaul.edu/law-review/vol33/iss1/1
Pendahuluan
Dalam studi hukum modern, memahami dasar legitimasi dan struktur hukum menjadi hal yang sangat penting. Salah satu pemikiran klasik yang terus hidup hingga kini datang dari Max Weber dan H.L.A. Hart. Jurnal berjudul Max Weber and the Concept of Legitimacy in Contemporary Jurisprudence karya Donald H.J. Hermann menjadi salah satu sumber utama yang mengupas tuntas bagaimana konsep legitimasi dibangun dalam dunia hukum modern. Dalam tulisan ini, saya sebagai mahasiswa hukum akan mengkaji pokok-pokok pemikiran keduanya, memberikan refleksi kritis terhadap relevansi ide tersebut di masa kini, dan menganalisis perkembangan hukum ekonomi syariah Indonesia dengan pendekatan dari Weber dan Hart.
Pokok-Pokok Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart
Max Weber menekankan bahwa hukum tidak bisa hanya dilihat sebagai alat kekuasaan yang memaksa, melainkan harus mendapatkan penerimaan dari masyarakat agar dapat dianggap sah. Legitimasi ini mengubah keharusan untuk taat menjadi kesadaran normatif bahwa aturan memang patut diikuti. Bagi Weber, hukum yang matang ditandai dengan adanya rasionalisasi formal, yaitu hukum disusun berdasarkan prinsip-prinsip abstrak yang konsisten dan diterapkan secara logis dalam kasus nyata. Sistem hukum seharusnya dipandang sebagai sistem tanpa celah (gapless) agar mampu menghadirkan keadilan yang bisa diterima semua pihak. Weber juga mengklasifikasikan legitimasi ke dalam tiga bentuk: tradisional, karismatik, dan legal-rasional, di mana dalam konteks negara modern, legitimasi legal-rasional lah yang paling penting.
Sementara itu, H.L.A. Hart melalui bukunya The Concept of Law menawarkan gagasan pembeda antara aturan primer dan sekunder. Aturan primer adalah aturan yang mengatur perilaku manusia secara langsung, sedangkan aturan sekunder adalah aturan yang mengatur bagaimana aturan primer dikenali, diubah, dan ditegakkan. Hart juga memperkenalkan konsep rule of recognition, yakni kriteria yang membuat suatu aturan diakui sebagai hukum yang sah dalam suatu sistem hukum. Tidak kalah penting, Hart mengkritik teori hukum yang hanya melihat hukum sebagai alat pemaksaan belaka. Menurutnya, hukum juga memiliki fungsi memberikan hak-hak dan fasilitas kepada warga negara. Pandangan Hart sangat menekankan pada aspek internal masyarakat: hukum menjadi efektif bukan semata-mata karena ada sanksi, melainkan karena masyarakat sadar akan kewajiban untuk taat.
Pendapat sebagai Mahasiswa Hukum terhadap Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart di Masa Kini
Dalam pandangan saya sebagai mahasiswa hukum, pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart masih sangat relevan untuk masa kini. Weber mengajarkan bahwa legitimasi tidak bisa dipaksakan hanya melalui kekuasaan, melainkan harus dibangun di atas kepercayaan publik. Di tengah fenomena globalisasi dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keadilan, hukum tanpa legitimasi sosial akan mudah ditolak atau dilanggar. Ini menjadi peringatan keras bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, bahwa penegakan hukum harus disertai upaya memperkuat kepercayaan rakyat, bukan hanya memperbanyak aturan dan sanksi.
Di sisi lain, pemikiran H.L.A. Hart menawarkan kerangka teknis untuk membangun sistem hukum yang solid. Tanpa adanya struktur aturan primer dan sekunder yang jelas, hukum akan berantakan dan sulit ditegakkan. Pendekatan Hart yang mendorong pentingnya internal point of view juga sejalan dengan kebutuhan hukum modern: membangun kesadaran masyarakat bahwa hukum itu bukan beban, melainkan bagian dari tatanan hidup yang adil dan rasional. Dengan menggabungkan aspek sosiologis Weber dan struktur normatif Hart, sistem hukum kita bisa lebih responsif, kredibel, dan dihormati oleh masyarakat.
Analisis Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah dengan Pendekatan Max Weber dan H.L.A. Hart
Perkembangan hukum ekonomi syariah di Indonesia menawarkan ladang yang sangat menarik untuk menerapkan pemikiran Weber dan Hart. Jika dilihat dari perspektif Weber, awal perkembangan hukum ekonomi syariah di Indonesia didominasi oleh legitimasi tradisional, yakni penerimaan berdasarkan ajaran agama Islam yang diwariskan turun-temurun. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, hukum ekonomi syariah perlahan-lahan bergerak menuju legitimasi legal-rasional, yang dibuktikan dengan adanya produk legislasi seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pengakuan negara terhadap prinsip-prinsip syariah dalam sistem hukum positif menunjukkan bahwa hukum syariah tidak lagi hanya berbasis kepercayaan agama, tetapi juga dihargai sebagai bagian dari hukum nasional yang rasional dan formal.
Rasionalisasi formal yang ditekankan Weber juga tercermin dalam upaya standarisasi akad-akad syariah, transparansi lembaga keuangan syariah, serta penyelesaian sengketa melalui forum peradilan formal, baik di Pengadilan Agama maupun badan arbitrase syariah. Namun demikian, tantangan terbesar tetap terletak pada bagaimana hukum syariah mampu meyakinkan masyarakat bahwa prinsip-prinsipnya tidak hanya religius, tetapi juga rasional dan kompatibel dengan kebutuhan ekonomi modern.
Jika menggunakan kacamata H.L.A. Hart, kita melihat bahwa hukum ekonomi syariah kini mulai membangun sistem aturan primer dan sekunder. Aturan primer meliputi ketentuan-ketentuan syariah seperti larangan riba, gharar, dan maisir. Aturan sekundernya muncul melalui kehadiran Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang berperan mengeluarkan fatwa-fatwa syariah yang kemudian diadopsi dalam kebijakan keuangan nasional, termasuk dalam regulasi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan pendekatan ini, hukum syariah mendapatkan rule of recognition-nya sendiri, sehingga dapat diterima sebagai hukum positif yang sah dan efektif.
Yang menarik, kesadaran internal masyarakat terhadap hukum syariah juga semakin tumbuh. Prinsip syariah bukan lagi dipatuhi hanya karena faktor keagamaan, tetapi juga karena dianggap sebagai pilihan rasional dalam pengelolaan ekonomi modern. Fenomena ini menunjukkan bahwa hukum ekonomi syariah telah bergerak ke arah sistem hukum yang modern dalam arti Weberian dan Hartian: sah, rasional, terstruktur, dan diterima secara normatif oleh masyarakat luas.
Penutup
Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart memberikan kontribusi besar untuk memahami bagaimana hukum seharusnya dibangun dan dijalankan. Dalam konteks perkembangan hukum ekonomi syariah di Indonesia, kedua tokoh ini menawarkan panduan penting: Weber mengingatkan tentang pentingnya membangun legitimasi berbasis rasionalitas formal, sementara Hart memberikan fondasi teknis tentang struktur hukum yang harus dipenuhi agar sebuah sistem hukum dapat berfungsi secara efektif.
Sebagai mahasiswa hukum, saya meyakini bahwa hukum ekonomi syariah di Indonesia akan terus berkembang jika tetap berpijak pada prinsip rasionalitas, proseduralitas, dan penerimaan sosial yang kuat. Tanpa aspek-aspek ini, hukum syariah akan sulit mendapatkan tempat, bukan hanya di tengah masyarakat nasional, tetapi juga di ranah global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI