Mohon tunggu...
Wiranto
Wiranto Mohon Tunggu... Guru - Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang menjadi Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Hobi membaca dan menulis terutama cerita anak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyemai Ekonomi Otak Kanan

21 Agustus 2020   15:18 Diperbarui: 21 Agustus 2020   21:51 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh karena itu, sektor ekonomi kreatif dewasa ini tidak bisa diremehkan karena memberikan dampak yang nyata bagi ekonomi nasional. Dukungan semua lini terhadap perkembangan ekonomi kreatif harus terus digalakkan. Lantas bagaimana dengan peran sekolah?

Sekolah Pembunuh Otak Kanan?
Daniel Pink dalam bukunya, The Whole New Mind (2006), tegas mengatakan bahwa sektor-sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan kemampuan otak kanan manusia. Jika ingin seperti negara maju, mau tak mau pengembangan otak kanan haru menjadi prioritas.

Bagaimanapun ekonomi kreatif berkembang karena hasil dari kegiatan mengolah kreasi akal budi menjadi produk bernilai tambah ekonomi tinggi. Siapa aktor utamanya? Tentu saja manusia-manusia berotak kanan yang mampu mengubah ide menjadi produk bernilai ekonomi tinggi. Adakah kabar baik dari pengembangan otak kanan di sekolah?

Sayang beribu sayang, bukan kabar gembira nampaknya. Alih-alih mengembangkan kemampuan otak kanan, proses pembelajaran di sekolah selama ini cenderung menekankan pada pemikiran reproduktif, hafalan dan hanya berkutat mencari satu jawaban benar dari sekian soal-soal yang diberikan.

Kreativitas dianggap tak punya peran, sementara intelektualitas begitu diagungkan dengan rangking dan nilai sebagai indikatornya. Aneka model pembelajaran yang berusaha meningkatkan kemampuan anak dalam menghafal atau mengerjakan soal secara singkat menjadi pilihan utama. Metode instan pendongkrak nilai menjadi idola.

Sekolah yang diharapkan punya peran dalam pengembangan ekonomi kreatif, diam-diam menjadi "silent killer" dengan membunuh, mengkerdilkan arti kreatifitas dan membuat siswanya tidak kreatif. Sekolah yang membunuh otak kanan menempatkan anak didik sebagai objek. Sekolah menjadi institusi formal tanpa jiwa.

Di dalamnya terbangun relasi kekuasaan monologis guru terhadap anak didik. Mereka tak memiliki ruang publik untuk melapangkan imajinasi, kreasi, inovasi, dan menyemaikan pikiran-pikiran kritis. Sekolah menjadi lokus pengasingan anak terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sosio-kulturalnya.

Seorang pengusaha Indonesia, Bob Sadino, menunjuk ketidakmampuan sekolah mengembangkan kreativitas ini sebagai biang kerok minimnya bakal wirausahawan kampiun di negara ini. Sistem sekolah telah memandulkan kebebasan anak didik untuk mengembangkan dirinya sendiri secara utuh, hingga berimbas pada munculnya rasa takut dan pikiran terbelenggu. Alhasil, otak kanan menjadi beku.

Sejatinya, proses pembelajaran anti otak kanan di sekolah sangatlah dipengaruhi oleh kompetensi guru dalam mengelola pembelajaran. Bagaimana potret program sertifikasi guru yang digadang-gadang mampu meningkatkan kompetensi mereka? Sertifikasi yang dimulai tahun 2007 nyatanya belum memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan kompetensi guru.

Meski kesejahteraan guru merangkak naik, tidak demikian halnya dengan kompetensi. Sertifikasi guru yang menguras sekitar dua pertiga dari total anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN tersebut belum mampu berkontribusi banyak dalam geliat ekonomi kreatif di Indonesia.

Lihat saja hasil Uji Kompetensi Guru (UKG). Berdasarkan Uji Kompetensip Guru (UKG) tahun 2015 terhadap 2.699.516 guru di seluruh Indonesia, peta kompetensi guru ternyata cukup memprihatinkan. Dari rerata Kompetensi Capaian Minimal (KCM) nasional tahun 2015 yang dicanangkan oleh Kemdikbud yaitu 55, hasil yang diperoleh guru berada pada angka 56,69 alias 1,69 poin di atas batas minimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun