Mohon tunggu...
Jemil Firdaus Cairo
Jemil Firdaus Cairo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Cuap-cuap pengen kenalan, berbagi untuk yang lain, ingin menjadi terbaik dihati Sang Tuhan. Rindu Al-Azhar University. UIN Suka, thanks telah mengajariku banyak hal. Istri dan anakku semoga untuk mereka matahari bersinar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Moral George Edward Moore (1873-1958)

19 Juli 2014   23:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:51 3168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Abstraks

Tugas filsafat memberi analisis yang tepat tentang konsep suatu proposisi, dengan cara menguraikannya dengan jelas. Metode analisis Moore secara sederhanya adalah 1) membedah pangkal urai (analysandum) menjadi potongan-potongan penyusunnya, sehingga menemukan konsep-konsep kecil yang lebih dasar. Hal ini berarti pangkal urai tidak boleh bentuk dasar (simple). 2) Melakukan analisis negative, yaitu membandingkannya dengan konsep yang lain. Dua motode analisis inilah yang oleh Moore digunakan dalam filsafat etikanya,termasuk mencari arti kata “baik”.

Dalam pandangan Moore, arti kata “baik” merupakan konsep paling sederhana (simple) yang bersifat abstrak, ia kata sifat, dan secara intuitif semua manusia menyadarinya bersama. Oleh karena itu “baik” tidak dapat didefinisikan dengan dua alasan yang ia istilahkan dengan “the naturalistic fallacy” dan“the open question argument”.

Pengaruh Moore terletak pada gaya ia beretika, terfokus pada penjabaran kata-kata kunci dari pembahasan etika, yang diimbangi dengan ketajaman analisis filsafat bahasa. Menjadikan etika Moore yang tampil kepermukaan membuat pembahasan etika di abad ke-20 beralih fokus pada metaetika.

A.Pendahuluan

George Edward Moore seorang filsuf asal Inggris kelahiran London tahun 1873 dan meninggal pada tahun 1958. Ia adalah profesor filsafat di Universitas Cambridge.[1] Ia merupakan salah satu pendiri dari tradisi analitik dalam filsafat bahasa, atau sering dikenal dengan nama linguistic analysis, analitycal philosophy atau bisa juga logical analysis (filsafat bahasa), yaitu suatu pandangan yang berupaya menjelaskan melalui analisis penggunaan bahasa dalam filsafat.[2] Namanya menjadi terkenal karena pemikiran analisisnya mengenai konsep-konsep akal sehat, sumbangannya terhadap etika,[3] epistemologi, metafisika, karakter moral, membela naturalisme non-etis dan menekankan pada akal sehat dalam metode filosofis.[4] Karya yang terkenal Moore yaitu Principia Ethica dan Defense of Common Sense.[5]

Pada awal pemikirannya, ia menolak filsafat idealisme[6] dan empirisme, dan ia lebih mendukung aliran realisme.[7] Dengan pendekatan analisis bahasa, ia mengkritik filsafat etika yang ada pada saat itu, banyak terdapat kesalahan dalam memberikan pemahaman menguraikan arti “baik”. Dari filsafat bahasa inilah ia menguraikan filsafat etikanya.

Menurut Moore, sebelum mengetahui “the good” (sesuatu yang “baik”) perlu terlebih dahulu memahami “good” (“baik”). Karena “good” akan membentuk “the good”. Inilah pendekatan awal dalam filsafat etika Moore. Para filosof banyak mengkaji etika dan mencoba memberikan pejelasan baik dan buruk akan sesuatu, namun tidak memberikan pemahaman akan “baik” itu sendiri. Yang ada malah justru mengakait-kaitkan nilai normatif dengan realitas adanya “yang baik” dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam makalah ini akan mencoba mengupas apa arti kata “baik”? Dapatkah “baik” didefinisikan menurut Moore? Apa argumentasi Moore dan arti pokok kata “baik” menurut filsafat etikanya? Adakah perbedaan antara “baik” (good) dengan “sesuatu yang baik” (the good)? Kenapa Moore membedakan antara “good” dan “the good” dalam filsafat etikanya? Pandangan mana yang oleh Moore disebut sebagai “kekeliruan naturalistik”? Dan Bagaimanakah pengaruh filsafat etika Moore terhadap perkembangan filsafat moral kontemporer? Itulah yang hendak dibahas dalam makalah kesempatan kali ini.

B.Epistemologi Moore

Dalam pandangan Moore tugas filsafat adalah memberi analisis yang tepat atau yang memadai tentang konsep suatu proposisi, yaitu menguraikan dengan jelas dan memadai apa yang dimaksudkan dengan konsep atau proposisi itu.[8] Memberikan analisis secara pantas terhadap suatu konsep atau suatu proposisi itu sama dengan menggantikan perkataan atau kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan hal itu dengan ungkapan-ungkapan lain yang sama benar nilainya (exactly equivalent) dengan kalimat atau ungkapan tadi akan tetapi harus menjadi semakin jelas maknanya.

Sistem analisis menurut Moore, adalah semacam definisi, pangkal urai (analysandum) di sebelah kiri dan ungkapan baru di sebelah kanan yang sering disebut sebagai analisis (pengurai yang mendefinisikan/ analisans).[9] Berkaitan dengan pangkal dan pengurai tidak selalu identik, melainkan keduanya harus sama dalam arti mempunyai kondisi-kondisi kebenaran yang sama.[10]

Mendefinisikan berarti menanyakan kejelasan yang masih belum jelas. Pertanyaan terhadap sebuah arti kebenaran jarang muncul dalam bahasa keseharian yang mudah dipahami. Satu-satunya pertanyaan yang penting adalah “analisis makna” yang dimaksud untuk merujuk pada tingkat refleksi yang lebih dalam mengenai hubungan konsep dan definisinya. Menurut Moore, metode analisis bahasa sangat esensial dalam filsafat. Konsep analisis Moore secara sederhanya adalah 1) membedah pangkal urai (analysandum) menjadi potongan-potongan penyusunnya, sehingga menemukan konsep-konsep kecil yang lebih dasar. Hal ini berarti pangkal urai tidak boleh bentuk dasar (simple). 2) Melakukan analisis negative, yaitu membandingkannya dengan konsep yang lain. Dua motode analisis inilah yang oleh Moore digunakan dalam filsafat etikanya,[11] termasuk mencari arti kata “baik”.

C.Kebaikan dan Nilai Intrinsik

Apa yang dimaksud kata “baik”? Ada banyak pendapat yang mencoba menjelaskan arti kata baik. Misalkan, “baik” sama dengan “nikmat” menurut kaum hedonis, atau “baik” adalah apa yang diinginkan orang, menurut etika psikologi, misalkan Hume.[12] Utilitarian menjelaskan “baik” adalah yang kebahagiaan jumlah orang terbanyak,[13] ada juga yang mendefinisikan “baik” tidak memiliki arti tepat, ia sangat relatif sebagaimana yang dipahami oleh aliran relativisme etika.[14] Seluruh moralitas tidak lain adalah rekayasa golongan berkuasa, bukanlah merujuk pada ketetapan Tuhan, sebagaimana pendapat marxisme.[15] Beda halnya dengan Spencer berpendapat bahwa “baik” adalah apa yang membuktikan diri bermanfaat dalam evolusi, mengacu pada cinta personal merupakan kebaikan moral tertinggi. Dan masih banyak pendapat lain.

Kembali lagi ke pertanyaan, apa sesungguhnya arti kata “baik”? Menurut filosof Inggris ini, George Edward Moore dalam Principia Ethica,[16]sangatlah penting untuk menjawab pertanyaan bagaimana sesuatu itu bisa dikatakan “baik”? Banyak para filosof mencoba menjawab tampa mengetahui persis pertanyaan yang ingin dijawab itu. Berfikir tentang moralitas tampa menjelaskan terlebih dahulu arti kata “baik” yang paling sentral, hanya akan akan menghasilkan kerancuan belaka.

Apakah kita akan mengatakan “memaafkan orang yang memohon ampun adalah perbuatan baik? Memberi bantuan kepada anak jalanan yang meminta-minta adalah baik? Apakah kebahagiaan adalah baik, apakah kesesuaian dengan keinginan orang banyak adalah baik? Singkat kata, menurut Moore, kata “baik” menurut Moore tidak dapat didefinisikan, titik. Orang dapat mengerti kata “baik” atau tidak dapat mengerti kata “baik”, tetap saja “baik” tidak akan bisa didefinisikan, bisa dirasakan.

Ada banyak alasan kenapa Moore beranggapan “baik” tidak terdefinisikan. Pertama, dikarenakan Moore beranggapan bahwa “baik” adalah sifat yang primer (simple).[17] Semua yang simple tidak bisa dianalisa, dan apa yang tidak bisa dianalisa sudah barang tentu tidak dapat diberikan definisi dengan tepat. Dengan kata lain, padanan kata dasar dari “baik” tidak ditemukan, maka tidak bisa direduksi lagi. “Baik” adalah “baik”, titik, habis perkara.[18] Dari sini maka bisa disimpulkan, bahwa Moore, mengartikan kata “baik” diketahui secara intuitif,[19] sudah bersumber pada naluri/hati seseorang, maka kebaikan adalah sifat “non-alamiah” yang tidak berasal dari fakta, maka ia bukan persepsi.[20]

Definisi yang ada dari arti “baik” mengalami kekeliruan. Menurut Moore, kekeliruan tersebut ia istilahkan sebagai “kekeliruan naturalistik”, mengambil kenyataan objektif yang didefinisikan secara deskriptif, bukan normatif. Penyamaan sesuatu yang primer/ simple dengan sesuatu yang lain, tidak akan menghasilkan definisi yang dibenarkan. Misalkan, jika “baik” itu adalah “mengikuti kehendak Allah”, maka perintah “berbuatlah sesuai dengan hendak Allah karena itu adalah perbuatan baik”. Hasilnya menjadi “berbuatlah sesuai dengan kehendak Allah karena itulah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah”. Misalkan lagi, “hidup baik adalah hidup yang memberi nikmat”, menjadi “hidup yang memberi nikmat adalah hidup yang memberi nikmat”. Dengan demikian sangat nampak terjadi kekeliruan naturalistik dalam definisi “baik”, yaitu sebuah tautologis.

Ditemukan definisi salah dalam mengartikan kata “baik” merupakan kekeliruan “naturalistik etik”, dikarenakan sesuatu yang mengharuskan/ normatif[21] (seperti “baik”) mau dijelaskan dengan suatu keadaan faktual. Pandangan Moore itu sejalan dengan apa yang pernah dikemukaan oleh David Hume (1711-1776),[22] bahwa premis-premis faktual tidak mungkin bisa ditarik kesimpulan normatif.[23] Disamping itu, pendapat Moore ini terkait dengan arti “baik” yang tidak bisa didefinisikan adalah terbentuk oleh pola epistemologi filsafat analitiknya, yang menekankan bahwa metode esensial dalam berfilsafat adalah konsep analisis bahasa, dengan membedah menjadi potongan-potongan penyusunnya, sehingga menemukan konsep-konsep kecil yang lebih dasar. Motode analisis bahasa inilah yang oleh Moore digunakan dalam filsafat etikanya. Hasil temuanya adalah, “baik” merupakan kata dasar yang tidak bisa dipecah lagi.

Argumentasi Moore lebih lanjut, bila bicara tentang definisi maka pelbagai unsurkalau diambil bersama merupakan “sesuatu”, jadi apabila sebuah kemajemukan dalam kebersamaan merupakan sebuah objek. Maka yang dapat didefinisikan hanya sesuatu yang majemuk saja (complex), yang terdiri dari atas bagian-bagian. Ayam dapat didefinisikan, ia terdiri dari banyak unsur, namun “baik” tidak, karena ia sifat primer dan simple.[24]

Kedua, kekeliruan naturalistik (the naturalistic fallacy) tersebut oleh Moore dirumuskan dengan istilah “argumen pertanyaan terbuka” (the open question argument).[25] Moore berargumen, apakah “baik” adalah “apa yang diinginkan orang” atau “kenikmatan”, atau yang dikatakan “baik” adalah apa yang membuktikan diri bermanfaat dalam evolusi. Apakah membunuh orang dikatakan “tidak baik”? lantas apa bisa dipastikan bahwa memelihara kelestarian manusia adalah “baik’? menurut Moore, apapun jawabannya dari upaya menjelaskan “baik” selalu akan memunculkan pertanyaan dengan kritis, apakah sesuatu itu memang baik? Inilah yang dikatakan the open question argument. Upaya menjelaskan “baik” selalu menimbulkan pertanyaan kembali.

Hasil kesimpulannya adalah, bahwa segala usaha untuk mereduksikan moralitas kepada realitas bukan moral, menemukan jalan buntu. Biarkan “baik” tidak terdefinisikan, dengan demikian justru moral “baik” tidak akan bisa hilang. Pertanyaan “apakah ini memang “baik”? atau “apakah perbuatan ini memang dibenarkan?” tetap saja muncul saat kita mendefinisikan “baik”. Dengan demikin, etika sebagai pemikiran filosofis tentang moralitas tidak akan bisa untuk ditukar dengan teori-teori ilmu-ilmu alam, sosial atau psikologi yang mudah untuk terdefinisikan.[26]

Good (“baik”) adalah kata sifat, sedangkan the good (“apa yang baik”) adalah kata benda atau realitas yang memiliki sifat baik itu, maka kalau good didefinisikan the good merupakan kesalahan, good tidak pernah identik dengan the good. Misalkan sesuatu dikatakan “baik” (contohnya: nikmat), hal itu bukan berarti bahwa sesuatu itu (nikmat) sama artinya dengan “baik”. Jika ada orang yang menyatakan nikmat adalah baik, maka sesungguhnya orang tersebut hendak menunjukkan nikmat tidaklah buruk (ia bukan mendefinisikan), tapi bukan berarti baik adalah nikmat. Dengan demikian “nikmat” tentu tidak sama dengan arti “baik”.[27]

Kalau disimpulkan, kesalahan naturalisme etis ada dua, yaitu kekeliruan naturalis (the naturalistic fallacy) dan argumen pertanyaan terbuka (the open question argument). Dengan keduanya menjadikan “baik” tidak dapat didefinisikan. Maka Moore, menolak filsafat Imanuel Kant yang menyatakan bahwa etika bertumpu pada alasan. Moore juga menolak utilitarianisme yang memandang bahwa beberapa ciri alami dapat didefinisikan sebagai “baik” secara etika berdasarkan pada penilaian subjektif yang berbeda dan bebas dari pikiran seperti fakta-fakta materi biasa.

D.Pengaruh Teori Etis Moore

Moore memberikan filsafat baru dalam perspektif yang berbeda dari yang sebelumnya. Kecemerlangannya pada analisis arti kata “baik”, istilah “kekeliruan naturalistik” dan “argumen pertanyaan terbuka” telah memberikan posisi padanya dalam pembahasan etika abad ke-20, ia juga disebut-sebut sebagai pelopor filsafat analitik bahasa.

Menurut Magnis Suseno, pengaruh Moore terletak pada gaya ia beretika, terfokus pada penjabaran kata-kata kunci dari pembahasan etika, yang diimbangi dengan ketajaman analisis bahasa. Menjadikan etika Moore yang tampil kepermukaan membuat pembahasan etika di abad ke-20 beralih fokus pada metaetika.[28]

E.Penutup dan Kesimpulan

Dalam pandangan Moore, arti kata “baik” merupakan konsep paling sederhana (simple) yang bersifat abstrak, dan secara intuitif semua manusia menyadari bersama. “Baik” sendiri adalah pemahaman dan tidak dapat dipahami lebih dahulu lewat definisi apapun. Moore menggunakan dua argumen, yang dia sebut the naturalistic fallacy danthe open question argument.

Filsafat moral Moore cenderung pada intuisionis, semua manusia menyadari bersama arti kata “baik”. Maka hal ini memberikan makna konsekwensi logis, bahwa pertama-tama yang baik adalah “kesadaran”.

Jika keputusan moral tidak berasal dari fakta, namun bersumber dari peran intuisi. Lantas realitas yang terjadi, kenapa orang yang berbeda tampak memiliki intuisi moral yang juga berbeda? Pendapat Moore, masih bisa dipertanyakan, kenapa terjadi intuisi moral yang berbeda-beda satu sama lain? Hal ini menunjukkan bahwa “baik” tidaklah intuitif ada pada semua orang.

“Baik” perlu juga dikaitkan dengan fakta, guna untuk mengekspresikan dan meluapkan emosi, tentunya masih belum putusan definisi yang dibenarkan. Maka “baik” sudah barang tentu sangat subjektif, tetapi tidak relativ.[29]

“Baik” / “good” harus bisa didefinisikan, hal ini menyangkut pemahaman terhadap subtansi moral, atau paling tidak dapat memberikan gambaran awal dan bisa dirasakan kemanfaatannya. Mungkin, tidak mengapa tidak bisa menjelaskan apa itu sinar matahari, namun satu hal yang pasti manusia bisa merasakan manfaat sinar matahari. Oleh kerena itu, definisi yang ada terkait konstribusi para filosof tentang kata “baik” tidak sepenuhnya disalahkan, karena minimal definisi itu adalah ungkapan emosional dari intuitif yang ada.



[1] Lawrence C. Becker, dkk. Encyclopedia of Ethics, (New York: Gorland Publishing, 2001), hlm. 1109.

[2] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik; Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 37.

[3] Pemikiran filsafat dan etika dari Moore, ia dapatkan ketika berada di Universitas Trinity pada tahun 1898 dan akhirnya ia melanjutkan pembelajarannya di Universitas Cambridge dalam bidang filsafat mental dan logika pada tahun 1925-1939. Lihat pula Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), halm. 24.

[4] Lihat selengkapnya Charlesworth, Phylosophy And Linguistic Analisis, (Pittsburgh: Duguesne University, 1959), hlm. 12.

[5] Franz Magnis Suseno, Tokoh-tokoh Etika Abad 20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 2.

[6] Paham bahwa segala sesuatu bersifat spiritual, tidak ada dunia material di dunia kita, waktu adalah tidak real, dan lain sebagainya.

[7] Kaelan, Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), hlm. 91.

[8] George E. Moore, Principia Etika, (Cambridge: The CambridgeUniversity Press, 1959), hlm. vii.

[9] Kaelan, Filsafat Bahasa..., hlm. 25.

[10] C.H. Langford, The Notion of Analysis in Moore’s Philosophy: The Philosophy of G.E. Moore, (ed.), (New York: Tudor Publishing Company, 1952), hlm, 335.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun