ABSTRAKSI
Dalam khazanah Islam dikenal memiliki tiga metodologi berfikir, salah satu diantaranya dalah bayani yang telah menjadi landasan banyak disiplin ilmu pengetahuan Islam, terutama fikih dan teologi, dalam tempo waktu yang cukup lama. Bayani adalah sebuah model metodologi berfikir yang didasarkan teks dan otoritas Salaf.
Teks sucilah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arahan dan arti sebuah kebenaran, sedangkan peran logika hanya merupakan pengawal teks suci tersebut. Perasan Salaf disini menjadi begitu besar dalam menentukan hasil ijtihadiyyah-istinbathiyyah/ istidlal-qiyas.
Dengan otoritas terletak pada teks yang dimilikinya, maka dalam epistemologi bayani akan memunculkan banyak polemik serta sikap mental yang bersifat defensif, apologetik, dogmatik. Hal ini dipengaruhi oleh pola logika Stoik (bukan logika Aristoteles). Peradaban Islam akan sulit perkembang.
PENDAHULUAN
Pemikiran Al-Jabiri dituang dalam empat buku, Takwĩn al-’Aql al-’Arabi (1984),Bunyah al-’Aql al-’Arabi (1986), al-’Aql al-Siyãsi al-’Arabi (1990), dan al-’Aql al-Akhlãqi al-’Arabi (2001). Berbicaya tentang Bayani, terletak pada buku "Bunyah al-'Aql al-'Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-'Arabi, 1993) sebagai bagian dari agenda besarnya, yaitu naqd al-'aql al-'araby (kritik nalar Arab). Di sini jelas fokus kritiknya adalah nalar arab, bukan nalar Islam. Memahami nalar arab, tradisi Arab dan struktur nalar yang membangunnya. Dikarenakan Islam tidak terlepas dari tradisi Arab, dan dalam perkembangannya keduanya saling mempengaruhi, maka membicarakan tentang Islam jelas merupakan sebuah keniscayaan.
Kritik nalar Arab dalam terutama dalam empat karyanya tersebut diproyeksikan sebagai upaya membangun rasionalitas kritikal guna mengatasi problem ketertinggalan peradaban Arab-Islam dari kemajuan Barat modern (Eropa pasca Renaisance). Kritik nalar Arab dipandangnya mampu mendialogkan antara turãts atau tradisi dan modernitas.
Tulisan ini akan membicarakan struktur bangunan epistemologi Islam, sebagai dasar bagi bangunan ilmu-ilmu keislaman, bagaimana tradisi Arab memahami turats, dan bagaimana epsitemologi nalar Arab? Kemudian Al-Jabiri mencoba merekonstruksi tipologi "epistemologi Arab-Islam", yaitu bayani, 'irfani dan burhani. Dan dalam kajian kali ini hanya membahas satu epistemologi saja, yaitu bayani. Dan yang terakhir apa temuan dari al-Jabiri terkait nalar tradisi Arab-Islam? Kenapa pradaban umat Islam mengalami kemundura?
PEMBAHASAN
A.Metode Pembacaan Turãts
Tradisi arab dalam menyikapi turat dengan menggunakan tiga bentu. Pertema, Al-fahm al-turãtsi li al-turãts/al-qira’ah al-salafiyyah li al-turats. Bentuk ini bersifat repetitif (qirãah tikrãr), tidak produktif (ghair muntijah), ahistoris dengan membuang jauh faktor analisis kronologi dan situasi kondisi terciptanya turats tersebuat. Maka terkesan hanya melulu mencomot pendapat ‘ulama klasik tanpa kritisisme. Dengan metode pembacaan tipe seperti ini, kaum tradisional ingin menunjukkan Islam otentik (al-ashãlah), tapi tanpa disadari justru gagap menghadapi tantangan modernitas (hadãtsah) dan kontemporer. Pembacaan model ini hanya memasung diri dalam romantisisme dan regresivitas semata.
Kedua, al-fahm al-turãtsi ‘alã ũriyantilisiyyah/al-qira’ah al-mustasyriqah li al-turats. Bentuk pemahaman turats semacam ini terjebak ke dalam pembacaan yang sarat imperialisme dan misionarisme. Ketiga adalah al-fahm al-turãtsi ‘alã marksisiyyah/al-qira’ah al-marksisiyyah li al-turats, yaituhanya melulu berkutat pada analisis pertentangan kelas dan objek yang bersifat materiil, yang pada akhirnya menciptakan pembacaan yang polemis terus menerus.
Maka, ketiga model tradisi nalar Arab dalam memahami turats, menurut al-Jabiri tidak produktif. Ia menawarkan alternatif lain dalam memahami turats dalam Islam. Pertama, Faşl al-maqrũ ‘an al-qãri (memisahkan bacan dari yang membaca), dengan menggunakan pendekatan (1)analisis struktural, yaitu memahami teks-teks turats sebagai unsur-unsur dalam jaringan relasi-relasi, bukan terpisah satu terhadap yang lainnya. Dengan demikian pengkaji harus memosisikan varian perspektif di antara dua poros (poros yang satu menunjukkan nilai-nilai universal-progresif-rasional-stimulus kemajuan dan moderniasi kebudayaan Arab-Islam yang terkandung dalam teks-teks turats; dan poros yg lainnya yang mengakomodir teks-teks turats yang menunjukkan nilai-nilai partikular, regresif, konservatif, tidak rasional, dan menyebabkan kemunduran dan stagnasi kebudayaan Islam). (2) Analisis historis, pembaca menghubungkan objek kajian dengan konteks sosio-historisnya, dan perlu untuk memotret historisitas dan genealogi pemikiran yang yang tengah dikaji. Setiap pemikiran pasti bermuatan ideologis (al-madhmũn al-idyuluji) maka perlu untuk melakukan (3) analisis ideologis, guna menyibak fungsi ideologis dan sosio-politis yang diusung oleh pemikiran yang dikaji dalam turats.
Pada tahap ini pengkaji menjaga jarak dari objek yang dikaji, tahap pembebasan diri dari asumsi a priori terhadap turats dan keinginan-keinginan masa kini. Pada tahap ini, pengkaji atau pembaca melihat konteks historis, menelanjangi aspek sosio-kultural, politik dan ideologisnya.
Tawaran ke alternatif lain dalam memahami turats dalam Islam menurut al-Jabiri adalah waşl al-qãri ‘an al-maqrũ (menyambungkan pembaca/ peneliti dari yang dibaca/ dikaji). Metode ini menghubungkan peneliti/pembaca dengan objek kajian. Hal ini diperlukan untuk mereaktualisasi dan menarik relevansi turats dalam konteks kekinian.
Maka dengan dua cara pembacaan ini, turats akan menjadi aktual utk konteksnya sendiri dan konteks kekinian (ja’l al-turãts mu’ashiran li nafsĩsi wa mu’ashiran lanã).
B.Tipe Epistemologis Nalar Arab-Islam
Al-Jabri menjelaskan bahwa formulasi epistemologis nalar Arab-Islamdihasilkan dari dari pendekatan dua bentuk akal, al-’Aql al-Mukawwin dan al-’Aql al-Mukawwan.
Al-’Aql al-Mukawwin/ la Raison Constituante merupakan potensi intelektual (al-malakah) yang dimiliki setiap manusia untuk menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip universal. Dengan ini para pemikir-pemikir Arab-Islam menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip universal keilmuan Islam, membentuk al-’Aql al-Mukawwan/ la Raison Constituée, yang merupakan kumpulan teori-teori dan prinsip-prinsip universal yang dihasilkan; relatif, dinamis, qãbil li al-taghyĩr. Maka nalar Arab-Islam mukawwan adalah kumpulan kaidah yg diciptakan oleh ulama Arab-Islam di tengah-tengah kultur intelektual Arab sebagai alat produksi pengetahuan.
Al-’Aql al-Mukawwin dalam budaya Arab-Islamtelah menciptakan al-’aql al-mukawwan. Yang pada akhirnya membentuk tiga episteme Arab-Islam: Bayani, ’Irfani dan Burhani.
Nalar Bayani, menurut al-Jabiri, terkesan abaikan realitas empirik dan spirit syari’at. Sedangkan nalar ‘Irfani menyebabkan nalar Arab-Islam hanyut dalam alam fantasi, dan oleh karenanya harus disingkirkan sebab telah membuat kebudy Arab-Islam terbelakang.
C.Pengertian Bayani
Bayani dalam bahasa arab berarti penjelasan (explanation). Arti asal katanya adalah menyingkap dan menjelaskan sesuatu, yaitu menjelaskan maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan lafadz yang paling baik (komunikatif). Menurut ahli ushul fikih, bayan adalah upaya menyingkap makna dari pembicaraan serta menjelaskan secara terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada mukallaf. Dengan kata lain usaha untuk mengeluarkan suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas.
Memaknai al-bayan secaraetimologis, merujuk dalam kamus lisan al-'Arab, Ibn Mandzur menjelaskan makna bayan memiliki empat pengertian, yakni al-fasl wa al-infishal dan al-dzuhur wa al-idzhar. Secara hirarkis atas dasar pemilahan antara metode (manhaj) dan visi (ru'yah) dalam epistemologi bayani, dapat disebut bahwa al-bayan sebagai metode berarti al-fasl wa al-infishal, sementara al-bayan sebagai visi berarti al-dzuhur wa al-idzhar. Sedangkan secara terminologis kajian bayani terbagi dua, pertama adalah aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin al-tafsir al-khithabi), dan yang kedua adalah syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj al-khithabi).
D.Epistemologi Bayani
Penetapan makna bayan secara ilmiah di atas (pengertian bayan) menandai tahapan baru, yaitu tidak hanya dipahami sebagai penjelas (al-wudhuh dan al-idzhar), tetapi lebih dari itu, berkembang sebagai suatu epistemologis keilmuan yang "difinitif". Keberadaan bayani sendiri sebenarnya sudah ada pada masa awal Islam, namun masih dalam bentuk penyebaran bayani secaratradisional. Dikarenakan masih belum merupakan upaya ilmiah, dalam arti indentifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teks-teksnya.
Perkembangan makna bayani dari makna tradisionalnya kepada maknanya yang baru (sebagai epistemologi keilmuan) adalah seiring dengan perkembangan tradisi Arab-Islam. Tradisi Arab-Islambergerak dari budaya lisan dan riwayat menuju budaya tulis dan nalar. Atau dengan kata lain dari budaya yang masih awan menuju budaya akademisi (ilmiah). Sehingga saat ini secara terminologi, bayani memiliki arti, pertama, adalah sebuah metode mentafsirkan wacana, dan yang kedua, adalah syarat memprodusi wacana. Adapun tokoh-tokohnya adalah Imam Syafi’i, Ibn Wahb dan Imam Syatibi.
Imam Syafi'i (w. 204 H.) dianggap sebagai peletak pertama dasar aturan-aturan penafsiran wacana bayani, yang melandasi nalar tradisi Arab-Islam. Karena di tangannyalah hukum-hukum bahasa Arab dijadikan acuan untuk menafsirkan teks-teks suci, terutama hukum qiyas, dan dijadikan sebagai salah satu sumber penalaran yang absah untuk memaknai persoalan-persoalan agama dan kemasyarakatan. Maka dalam konteks inilah bahwa yang dijadikan acuan utama adalah nash atau teks suci. Syafi'i meletakkan aturan dasar al-ushul al-bayaniyyah sebagai faktor yang paling penting dalam aturan penafsiran wacana. Maka konsekwensi logisnya adalah berfikir atau bernalar, menurutnya, berfikir dalam kerangka nash.
Berdasarkan sosio historis yang ada, imam Syafi’i menjadikan bayan tampil lebih ilmiah dan kemudian di ikuti oleh orang-orang setelahnya. Imam Syafi’i merumuskan bayan khusus terkait dengan al-Qur’an dalam lima tingkatan: 1) bayan yang tidak memerlukan penjelasan; 2) bayan yang beberapa bagiannya membutuhkan penjelasan al-Sunnah; 3) bayan yang keseluruhannya bersifat umum dan membutuhkan penjelasan; 4) bayan yang tidak terdapat dalam al-Quran namun terdapat dalam al-Sunnah, dan 5) bayan yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah, yang dari sinilah kemudian muncul qiyas sebagai ‘metode’ ijtihad. Dari lima derajat bayan tersebut kemudian Syafi’i merumuskan empat dasar pokok agama, yaitu al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Terjadi gayung bersambut, al-Jahidz (225 H.) menanggapibayan Syafi’i yang menurutnya hanya baru pada tingkat memahami teks, belum berorientasi pada bagaimana cara membuat orang paham. Al-bayan menurutnya adalah sebuah usaha membuat pendengar paham akan wacana atau bahkan sebagai usaha memenangkan sebuah perdebatan. Ia melihat al-bayan dari sisi pedagogik, sehingga unsur pendengaran mau tidak mau harus dilibatkan, bahkan sebagai tujuan. Maka harus ada kesesuaian antara lafadz dan makna dalam bayan. Untuk mendapatkan makna yang tepat harus memenuhi persyaratan-persyaratan dalam mengambil kesimpulan, yaitu: 1) bayan dengan mensyaratkan kefasihan ucapan sebagai penentu makana; 2) bayan dengan seleksi huruf dan lafadz; 3) bayan dengan makna terbuka. Dengan demikian makna bisa diungkapkan dengan salah satu dari lima bentuk penjelas, yaitu lafadz, isyarat, tulisan, keyakinan, dan keadaan/nisbah; dan 4) bayan dengan syarat keindahan.
Berikutnya muncul Ibn Wahb yang mencoba menjadikan bayan sebagai metode untuk membangun konsep di atas dasar ashul-furu’. Ia menambahkan pemahaman terhadap bayan bukan hanya teks suci saja akan tetapi lebih dari itu.Ia merumuskan dari sisi tingkat kepastian atau penunjukannya, ada empat tingkatan yang perlu bayan, yaitu: 1) penjelasan sesuatu dengan menunjukkan bentuk materi pertanyaannya yang mengandung aksiden dan subtansi (bayan bi al-i’tibar); 2) penjelasan sesuatu dengan pemahaman/ perenungan dalam batin untuk menentukan benar-salah atau sybhat (bayan bi al-qalb); 3) penjelasan sesuatu dengan redaksi lisan (bayan bi al-‘ibarat); 4) penjelasan sesuatu dengan redaksi tulisan (bayan bi al-kitab).
Dalam proses keberlangsungan tradisi nalar Arab berikutnya, muncul Imam Syatibi (w. 1388 M) yang menjadikan epistemologi bayani mengalami perkembangan signifikan. Ia berusaha memperbaharui epistemologi bayani untuk bisa menghasilkan kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, maka tidak cukup hanya mengandalkan kaidah-kaidah bahasa dan proses transmisi, namun harus berpijak pada dalil-dalil burhani. Kemudian ia menawarkan tiga teori utama, yaitu al-istintaj (qiyas jama’i atau silogisme), istiqra’i, dan maqasid al-syar’iyah.
Seperti telah dijelaskan di atas, sosio-historis perkembangan nalar Arab bayani merupakan salah satu ‘struktur berfikir (episteme) yang menguasai gerak budaya bangsa Arab-Islam yang didasarkan pada keyakinan keagamaan (Islam) dan dibangun berdasarkan pada teks (nash), ijma’ dan ijtihad. Representasi struktur berfikir bayani ini berada dalam disiplin ilmu ushul fikih (jurisprodensi), kalam (teologi), nahwu (grammar) dan juga balaghah.
Sampai di sini bisa diambil kesimpulan, bahwa epistemologi bayani selalu bertumpu pada ashl (pokok) berupa teks (nash) keagamaan, dan senantiasa berpijak pada riwayah (naql). Karena menjadikan nash sebagai sumber (origin) pengetahuan, maka konsekwensi logisnya adalah epistemologi bayani menonjolkan tradisi memahami dan memperjelas teks, dengan perpegang pada teks dzahir (tekstualisme). Tekstualisme senantiasa tidak akan pernah lepas menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab, yang sasarannya adalah teks ashl (al-Quran dan al-Sunnah) dan teks skunder (far’).Berikutnya adalah dengan memperhatikan proses transmisi (al-naql) nash dari generasi ke generasi (periwayatan).
E.Aspek Metodologi
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa bayani menjadikan teks sebagai rujukan pokok, sekaligus sumber pengetahuan bayani. Maka akal harus berupaya keras memahami dan membenarkan rujukan utamanya, yaitu teks. Usaha ini disebut ijtihad dalam ilmu fikih, khususnya dalam ilmu ushul fikih berujud qiyas (analogi) dan istinbath (penerapan kesimpulan), sedangkan dalam ilmu kalam (teologi Islam) qiyas seperti ini disebut istidlal (tuntutan mengemukakan alasan/ thalab al-dalil). Metode dalam kalam ini kemudian disebut istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib, sebagai argumen ontologis masalah ketuhanan, yaitu penalaran dari dunia riil untuk mengukuhkan dan membenarkan yang ghaib (metafisik/ ketuhanan).
Qiyas adalah menetapkan keputusan dengan cara menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam teks (nash) dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya dalam nash, dikarenakan adanya kesamaan illat (alasan atau motiv hukum). Munculnya qiyas beranjak dari asumsi dasar yang kemudian menjadi prinsip, bahwa “segala peristiwa yang menimpa hamba Allah, niscaya telah ada dalilnya/ petunjuknya di dalam al-Quran.”
Asumsi di atas sangat kuat mempengaruhi pola pikir bayani, bahwa tidak satupun yang terlepas dari rangkaian fiman Tuhan berupa teks-teks suci. Berikutnya muncul statemen bahwa yang tampa berlandaskan nash, atau tampa analogi nash, atau hanya berdasarkan subjektifitas saja, maka ia telah berbuat dosa, karena telah menuhankan hawa nafsunya sendiri.
Ijtihad, menurut al-Jabiri, adalah upaya memahimi teks keagamaan yang selalu membawa realitas masuk dalam otoritasnya (wahyu). Dan qiyas adalah upaya pencarian hukum dengan menggunakan kemampuan akal, untuk menemukan kesesuaian illat antara ashl dan far’ (asal dan cabang) ke dalam dalil (teks) yang telah ada. Maka ijtihad dan qiyas hanya merupakan mekanisme berfikir yang menyatukan sesuatu dengan sesuatu yang lain, menghasilkan sesuatu yang sudah ada.
Metode ini tidak bisa membangun alam pikiran baru, bahkan memicu taklid buta dalam urusan agama dan persoalan hidup. Dikarenakan al-Quran yang merupakan teks, harus senantiasa menggunakan pendekatan bahasa dalam memahami nash-nashnya, harus paham terlebih dahulu seluk belum bahasa Arab dengan segala sistemnya. Bagaimana dengan non Arab, seakan tidak memiliki hak untuk berurusan tentang agama.
Metode nalar bayani memiliki model argumen yang berkarakter jadali, yang tidak lagi membutuhkan hal baru dalam pembuktian kebenaran keilmuannya, karena didukung oleh asumsi yang aksiomatik. Model argumen dialegtis ini sering digunakan untuk mematahkan dan mengalahkan lawan dalam berdebat, dan sebagai ajang kehebatan menunjukkan otoritas keilmuannya pada orang awam.
Untuk lebih memahami epistemologi bayani lebih dalam, maka perlu terlebih dahulu mengenal usur-unsur yang merekonstruksinya, yaitu pasangan lafadz dan makna, al-ashl dan al-far’ (asal dan cabang), serta yang terakhir al-khabar dan al-qiyas ( pembahasan jauhar/ subtansi dan ‘ard/ aksidensi).
F.Konsep Lafadz dan Makna
Pembahasan ini meliputi dua aspek, yaitu (1) aspek teoritis (nadzari) yang berkisar pembahasan bahasa, dan (2) aspek praktis (tathbiq) yang berkaitan dengan dengan penafsiran titah syara’. Aspek teoritis mencakup tiga permasalahan; pertama, apakah makna suatu lafadz itu didasarkan pada konteks (istilahi) ataukah tauqifi? Kedua, apakah boleh bahasa dianalogikan dari makna ke makna lain? Ketiga, permasalahan asma al-syar’iyyah, yaitu syari’ah yang berbahasa Arab, apakah makna ditentukan oleh kebudayaan Arab atau boleh menggunakan pendapat lain?
Problem pertama, menurut Mu’tazilah bahwa makna berdasarkan konteks. Asy’ariyah, maknaadalah tauqifi, maka makna yang ada dalam lafadz perlu dijaga. Maka lahirlah ilmu bahasa guna menjaga penyimpangan makna.
Problem kedua, dalam perspektif nalar bayani boleh. Misalkan keharaman khamer juga berlaku pada anggur. Dari sini kemudian mucul ilmu ushul fikih.
Problem ketiga, ada dua pendapat, (1) karena al-Quran berbahasa Arab, maka makna harus ditentukan oleh pengertian dan kebudayaan Arab; (2) boleh memakai lafadz dengan takwil sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Dari sini memunculkan ilmu kalam.
Selanjutnya dalam aspek praktis, persoalan lafadz dan makna lebih banyak dikembangkan oleh ilmu ushul fikih. Untuk melihat makna lafadz harus melihat: 1)perspektif kedudukan, lafadz dapat bermakna khas, ‘am, dan musytarak; 2) perspektif penggunaan (isti’mal), lafadz dapat bermakna hekekat dan majaz; 3) perspektif derajat kejelasan, lafadz dapat bermakna: mahkam, mufassar, nash, dzahir, khafi, musykil, mujmal, dan muasyabih; 4) perspektif metode dalalahnya, menurut Hanafiyah lafadz dapat bermakna dalalah al-iqtidha’, menurut Syafi’iyah lafadz bermakna dalalah al-manzhum dan dalalah al-mafhum, yang terdiri dari mukhalafah dan muwafaqah (al-shifah, al-hashr, al-syarth, al-‘adad). Selanjutnya pedoman ini dijadikan sarana pokok dalam membuat hukum Islam oleh ahli fikih. Dari sini nampak bahwa nalar Bayani terkesan abaikan realitas empirik dan spirit syari’at, karenanya menyebabkan kebudayaan Arab-Islam menjadi terbelakang.
G.Konsep Ushul dan Furu'
Penggunaan kata ushul sudah dipakai dalam berbagai disiplin ilmu. Syafi’i dalam membangun ilmu fikih menggunakan rumusan ‘ilm al-ushul yang kemudian dikenal dengan istilah ushul fikih dengan menetapkan empat sumber pokok agama, yaitu al-Quran, al-Sunnah, Qiyas dan Ijma’. Dalam pembahasan ushul dan furu’ mencakum dua pembahasan kajian, yaitu kajian tentang otoritas tradisional, dan kajian qiyas bayani beserta problematika analisisnya.
1)Otoritas Tradisional (salaf)
Terkait salah satu dari empat dasar pokok agama ialah keberadaan sunnah, telah melahirkan ilmu tentang transmisi al-Sunnah atau ilmu Hadist. Problem epistemology berkenaan dengan sah atau tidaknya sebuah khabar dikaitkan dengan proses transmisinya, bukan melihat salah atau benarnya subtansi sebuah khabar. Dari melihat proses transmisi ini menghasilkan perbedaan kedudukan hadist, ada yang mutawatir, ahad, shahih, hasan, dha’if, gharib, maudhu’ dan lain sebagainya. Dari ini terlihat betapa besarnya peran tradisionalis (salaf) dalam menentukan sah tidaknya sebuah ushul yang kelak dijadikan dasar penalaran memecahkan berbagai masalah social keagamaan, termasuk era kontemporer.
Dalam kerangka “aqliyah” bayani, ushul menghasilkan furu’ dengan tiga metode. Pertama adalah istinbath, yaitu metode berpikir deduktif yang berpangkal dari teks (sebagai ashl, sumber pengetahuan) kemudian mengeluarkan ketetapan. Dari sini kemudian muncul istilah ijtihad. Kedua adalah qiyas, yaitu metode berfikir menghasilkan sebagaimana pokok. Qiyas yang berlaku di fuqaha’ adalah qiyas illat atau qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid, berbeda dengan qiyas di mutakallimin yaitu merupakan metode berfikir yang terdiri dari dua premis, kemudian keduanya diambil kesimpulan, qiyas ini disebut qiyas dalalah atau istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib. Ketiga adalah metode berfikir dengan arahan sebagaimana yang digunakan sebagai pokok (ashl) dan didasarkan pada kaidah-kaidah tertentu (qawa’id al-tawjih).
Sedangkan problem dalam ijma’ terkait dengan kesepakatan para mujtahid yang hidup pada masa lampau. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas sandaran hukum adalah lagi-lagi milik orang tradisionalis, hanya mereka yang sebagai sumber pengetahuan, padahal dunia terus berkembang.
2)Problem Qiyas Bayani
Qiyas memiliki kedudukan yang sentral dalam pemikiran bayani. Kontruksi berfikir bayani adalah sebagai berikut; pertama, qiyas arti bahasa adalah menetapkan sesuatu (furu’) atas dasar kesamaan (illat) dengan susuatu yang lain (ushul). Dengan ini maka sesungguhnya qiyas tidak memproduksi pengetahuan baru.
Kedua, mengenai proses dari asal (ushul) ke cabang (furu’) sebenarnya didasari dari asumsi penganalog atau perspektif fuqaha asumsi mujtahid. Asumsi yang dimaksud adalah bahwa furu’ itu terdapat sifat dan karakter yang sesuai dan sama dengan yang terdapat dalam ushul, maka ditariklah kesimpulan hukum yang sama.Jadi hasil qiyas sudah barang tentu dzanni atau sebagai hasil karya ijtihadi, maka bukan qath’i.
Dalam tradisi nahwu juga terjadi, yaitu antara ma’lul dengan illat, yang sifatnya meneruskan atau menerapkan hukum asal pada hukum cabang. Hal yang sama juga ditemukan dalam ilmu kalam, apa yang disebut istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib sebenarnya adalah menukil hukum asal yang disebut al-syahid kepada cabang yang disebut al-ghaib.
Mutakallimun menamakan metode mereka dengan istidlal, yang berarti penalaran terhadap pengetahuan yang ghaib yang didasarkan kepada perintah-perintah dan iman yang mereka sebut i’tibar. Menurut al-Jabiri i’tibar yang berlaku dikalangan fuqaha dan mutakallimun merupakan nafas (jiwa) dari qiyas, sedangkan istidlal merupakan “jalan” dari yang diketahui menyuju pada yang tidak/belum diketahui.
H.Problema Subtansi dan Aksidensi
Perbincangan mengenai subtansi dan aksidensi banyak ditemukan dalam pergumulan para ulama kalam ketika membicarakan ilmu Allah meliputi segala sesuatu, lantas apakah sesuatu itu? Maka muncullah subtansi dan aksidensi. Subtansis (al-jauhar al-fard) adalah sesuatu yang tidak terbagi lagi, dalam bahasa arab dikenal sebagai al-dzarrah. Sedangkan aksidensi (al-‘ardl) adalah sesuatu yang datang dan pergi, menempati subtansi.
Selanjutnya muncul permasalahan hubungan akal dan wujud, apakah akal subtansi ataukah aksidensi? Bagaimana hubungan subjek dan objek pengetahuan?
Dalam filsafat, akal sebagai subtansi, namun dalam bayani, akal sebagai aksidensi. Akal berfikir bisa mencapai “yang ada” dan “yang tidak ada”. Dari sini bayani memahami bahwa oleh karena wujud merupakan akhbar dari kerja akal, maka wujud juga merupakan aksidensi.
Dalam tradisi ilmu kalam, akal hanya digunakan sebagai alat mempertahankan argumen akidah saja dengan objek pembahasan dalalah al-alfadz, bukan untuk menghasilkan pengetahuan baru, terutama yang terkait dengan ilmu alam (mencari pengertian essensi sesuatu dan alasannya/ reason). Maka logika Aristoteles, peran akal hanya sebagai pengabdi setia dari teks.Para mutakallimun masing menggunakan tradisi bayani.
I.Prinsip-Prinsip Dasar Nalar Bayani
Al-Jabiri mengungkapkan ada tiga karakter utama yang menjadi prinsip pengetahuan bayani sesungguhnya berakar dari tradisi Arab Jahiliyah pra-Islam. Pertama, prinsip infishal (discontinue). Prinsip keterpisahan ini memandang bahwa alam masing-masing berdiri sendiri dan tidak berkaitan satu dengan yang lainnya. Maka tidak heran dalam pemikiran Islam nampak dipisah memahami Tuhan dengan memahami alam, berikutknya berimbas pada pembagian ilmu agama dengan ilmu non agama, gemar mengklaim muslim dan kafir.
Kadua, prinsip al-tajwis (keserba bolehan). Prinsip ini cenderung mengingkari hukum sebab akibat (causality). Dengan ini melahirkan prinsip “bila kaif” jika menemukan kepelikan masalah ketuhanan, sehingga pada akhirnya menyebabkan alam pikiran bayani tidak mampu menghasilkan ilmu yang bersifat eksakta.
Ketiga, prinsip muqarabah. Tradisi Arab juga menerapkan penalaran didasarkan pada faktor kedebatan analogi-deduktif, dan kurang memberikan peluang pada pendekatan lain dalam membangun keilmuan.
PENUTUP
Seperti telah dijelaskan di atas, sosio-historis perkembangan nalar Arab bayani merupakan salah satu ‘struktur berfikir (episteme) yang menguasai gerak budaya bangsa Arab-Islam yang didasarkan pada keyakinan keagamaan (Islam) dan dibangun berdasarkan pada teks (nash), ijma’ dan ijtihad. Representasi struktur berfikir bayani ini berada dalam disiplin ilmu ushul fikih (jurisprodensi), kalam (teologi), nahwu (grammar) dan juga balaghah.
Sampai di sini bisa diambil kesimpulan, bahwa epistemologi bayani selalu bertumpu pada ashl (pokok) berupa teks (nash) keagamaan, dan senantiasa berpijak pada riwayah (naql/ transmisi). Karena menjadikan nash sebagai sumber (origin) pengetahuan, maka konsekwensi logisnya adalah epistemologi bayani menonjolkan tradisi memahami dan memperjelas teks, dengan perpegang pada teks dzahir (tekstualisme).
Tekstualisme senantiasa tidak akan pernah lepas menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab, yang sasarannya adalah teks ashl (al-Quran dan al-Sunnah) dan teks skunder (far’).Berikutnya adalah dengan memperhatikan proses transmisi (al-naql) nash dari generasi ke generasi (periwayata).
Epistemoloogi bayani yang mendominasi tradisi berfikir umat Arab-Islam, menurut al-Jabiri, masih berkutat dalam tataran teks dan bukan makna. Dengan otoritas terletak pada teks yang dimilikinya, maka dalam epistemologi bayani akan memunculkan banyak polemik serta sikap mental yang bersifat defensif, apologetik, dogmatik. Hal ini dipengaruhi oleh pola logika Stoik (bukan logika Aristoteles).
Lengkap sudah al-Jabiri membuktikan, bahwa nalar bayani tidak bisa memberikan kemajuan beradaban. Nalar burhanilah yang bisa mengembangkan nalar bayani menjadi instrumen yang bisa menyongsong modernitas dan menghadirkan turats selalu kontemporer dan memberi kontribusi pemecahan problem global kekinian yg dihadapi manusia.
Modernitas dan kebangkitan kebudayaan Arab-Islam hanya bisa diwujudkan dengan membumikan kontribusi pemikiran rasional-empirik. Andalusia-Maghribi sebagai bukti kemajuan peradaban Islam, ada Ibn Hazm yang merepresentasikan bidang fiqh berbasis silogisme Aristotelian, al-Syathibi dengan epistemologie juridique (ushul fiqh) yg memperhatikan spirit maqãshid syarĩ’ah, Ibn Bajah dan Ibn Rushd di bidang filsafat Aristotelian murni, Ibn Khaldun di bidang sosiologi, dan Ibn Madha al-Qurthubi di bidang pembaruan gramatika Arab. Maka dengan ini, Bayani semata tidaklah cukup memajukan Peradaban Islam.
Kritik nalar Arab, menimbulkan kesanprovokatif, karena sebagian besar nalar arab selama ini menggunakan nalar bayani dan irfani, terkait dengan burhani cenderung dianaktirikan selama ini. Al-Jabiri yang cenderung burhani mencoba untuk merekonstruksi tiga tipologi epistemologi Islam tersebut.
Mohammad 'Abid al-Jabiri, pemikir muslim kontemporer adalah seorang antropolog Maroko, 1936. Gelar doktornya diperoleh pada Universitas al-Khamis Rabat Maroko. Di tempat yang sama, sejak tahun 1976 menjadi dosen dalam bidang filsafat dan pemikiran Islam pada fakultas sastra.
Menjadikan kasyf sebagai satu-satunya metode memperoleh pengetahuan dan berorientasi pada kesatuan dengan Tuhan.
Mengandalkan kekuatan pengetahuan alamiah manusia berupa indra, pengalaman dan kekuatan rasional.
Menjadikan teks sebagai rujukan pokok dengan tujuan membangun konsep tentang alam semesta untuk memperkuat akidah agama. Lihat Mohammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-'Arabi, 1991), hlm. 384.
Terjadi sejak ‘ashr al-tadwĩn (era kodifikasi) tahun 143 H yang diinisiasi dan dipromotori oleh Dinasti Abbasiyyah tepatnya masa Rezim al-Manshur. Kodifikasi awalnya hanyalah proses pengumpulan dan pembukuan ilmu-ilmu transmisional keagamaan (‘ulũm al-naql), tetapi akhirnya membutukan kerja rasional guna menciptakan teori-teori utk menyeleksi data-data warisan kebudayaan Arab-Islam dan pemahamannya (‘ulũm al-’aql). Sejak era kodifikasi ini, struktur nalar Arab-Islam diformulasikan, disistematisasikan, dan dibakukan, sehingga sebagai konsekuensinya, dunia pemikiran yang dominan pada masa itu memiliki sumbangan besar dalam menentukan orientasi pemikiran Arab-Islam yg berkembang hingga kini di satu pihak, dan di pihak lain, mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah kebudayaan Arab-Islam pada masa dulu. Nalar Arab-Islam akhirnya terkungkung karena geraknya selalu dibatasi oleh pembakuan-pembakuan yang beku. Walaupun ada beberapa pemikir muslim melakukan harmonisasi eklektik dari tiga epistemologi tersebut, semisal Filsafat al-Kindi = harmonisasi bayãni dengan ‘burhãni.
Dalam sejarah kebudayaa Arab-Islam, tiga episteme tersebut saling berbenturan satu sama lain. Benturan ini menumbuhkan kesadaran krisis epistemologis pada abad ke-5 H. Benturan bisa dilihatdari perdebatan antagonistik antara fuqaha dan tasawuf (bayãni vs ‘irfãni), antara fuqaha dan filosof (bayãni vs burhãni), antara filosof dan sufi (burhãni vs ‘irfãni).
Dari sini nalar akal al-Jabiri nampak kentara Burhani. Sehemat penulis, epistemologi ‘Irfani merupakan khazanah dalam islam yang tidak perlu untuk dibuang. Ia memiliki urgensi besar dalam pembentukan nilai kedewasaan jiwa para pengembara spiritual.
Mengacu pada Lisan al-'Arab, karena di dalamnya tersedia materi-materi bahasa arab sejak permulaan masa tadwin, yang masih mempunyai makna asli yang belum tercampuri dengan makan lain, karena dengan makna asli tersebut bisa mengetahui watak dan situasi yang mengitarinya. Lihat Mohammad 'Abid al-Jabiri, Bunyah..., hlm. 15.
Ibid., hlm. 20.
Ibid., hlm. 20.
Jabiri menggunakan istilah proses dari ketidaksadaran atau tidak direncanakan (al-La'i) menuju kondisi disadari (al-Wa'i). Ibid., hlm. 14.
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, cet. II), hlm. 178.
Ibid., hlm. 22.
Ibid., hlm. 22-23
Dengan asumsi tersbut, perlu diketahui bahwa al-Jahidz adalah seorang pemikir teolog Muktazilah yang pada saat itu mencoba untuk melingdingi dari serangan lawan-lawan Islam, maka metode bayani digunakan untuk menggali argumen dari teks suci yang selanjutnya untuk menghantam argumentasi lawan (Mazdakiyah dan Manikiyah).
Ibid., hlm. 25
Ibid., hlm. 26-30
Nama asli adalah Abu Husain Ishaq ibn Ibrahim ibn Sulaiman ibn Wahhab al-Katib. Ia menulis karya berjudul al-Burhan fi wujud al-Bayan, pada tahun 964 M.
Ibid., hlm. 34-37
Seorang tokoh utama madzhab Maliki yang lahir di Kordova, Spanyol.
Ibid., hlm. 105
Istintaj adalah menarik kesimpulan dengan menyandarkan dua premis yang mendahuluinya, premis minornya adalah: nadhariyah/teoritis berbasis pada indra, rasio, untuk uji empiris suatu sebab hukum dalam setiap kasus. Premis mayornya adalah: naqliyah/tranmisi berbasis pada khabar yang merujuk pada hukum itu sendiri dan mencakup pada semua hukum yang sejenis.
Istiqra’i adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil tema pokok, mirip dengan tematic induksi.
Maqasid al-syar’iyah maksudnya bahwa semua syariah mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Ada tiga macam, dlaruriyah (primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyah (tersier).
Dan masih banyak lagi disiplin ilmu-ilmu yang lain dalam dunia Arab-Islam. Pengumpulan satu kerangka epistemologi ini didasarkan atas persamaan karakter masing-masing disiplin, baik dalam metodologi maupun pendekatan dalam menggali pengetahuan.
Ibid., hlm. 38
Di sini proses transmisi menjadi sangat penting, sebagai tolak ukur keabsahan (valid) pengetahuan yang dihasilkannya.
Al-Jabiri, Takwin...op.cit., hlm. 130
Dengan demikian qiyas mewajibkan adanya dua hal, yaitu teks (nash) dan kesesuaian (al-shl dan fur’)
Sikap mengikuti sesuatu tampa mengerti alasan dan dasar penalarannya.
Ibid., hlm. 105.
Telah menjadi ketetapan baku.
Al-Jabiri, Bunyah...op.cit., hlm. 42
Ibid., hlm. 58.
Ibid., hlm. 48-62
Rasyid Ridha menggagas pendekatan rasionalitas dijadikan sebagai penentu keabsahan sebuah hadist.
Lengkapnya lihat M. Musthafa Azami, Metodology Kritik Hadist, terj. Yamin, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 143.
Arti asalanya dalah mengeluarkan, mengeluarkan hukum syar’i dari dalilnya.
Misalkan minum wiski diqiyaskan pada khamer, keduanya haram karena kesamaan illat, memabukka.
Kalangan fuqaha’ memahami syahid sebagai “hukum” pada ushul dan ghaib sebagai furu’nya. Sedangkan para mutakallimin memaknai syahid sebagai manusia dengan segenap sifat-sifatnya, dan ghaib dimaknai Allah. Maka untuk mamahami Allah (ghaib) melalui manusia dan alam semesta (syahid). Mutakallimun tidak mau menggunakan qiyas, mereka menggunakan istilah istidlal, karena makna qiyas adalah tasybih (penyerupaan)dikhawatirkanterperangkapmenyamakan Allah dengan manusia.
Misalkan kaidah “pada asal-nya segala sesuatu itu boleh”. Lihat al-Jabiri, Bunyah..., hlm. 113-116.
Orang-orang yang boleh berijtihad, dianggap kapabel mengeluarkan ketetapan hukum dari dalil-dalilnya. Lihat al-Jabiri, Bunyah..., hlm. 130.
Mirip silogisme dalam filsafat, yang pengarah pada penyimpulan terhadap dua premis yang mendahuluinya (mayor dan minor). Sedangkan kias menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain dikarenakan kesamaan sebab (illat).
Ibid., hlm. 142.
Mereka berlandaskan QS. 59: 13 dan QS. 3:13. I’tibar menurut bahasa Arab adalah mengembalikan hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya.
Ibid., hlm. 143-144.
Ibid., hlm. 207
Ibid., hlm. 239-.148
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H