Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tuhan, Sepatu, dan Sandal atawa “Bagaimana Romo Tahu Tuhan Lebih Suka Sepatu daripada Sandal?”

4 Juni 2011   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_112062" align="aligncenter" width="545" caption="Saya yakin Tuhan tidak lebih suka sepatu daripada sandal (sumber:jayarosmano.wordpress.com)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG SAYA BAYANGKAN remaja itu. Mungkin umur belasan—belum lagi mencapai 20. Ia sedang menjalani misa pribadi di sebuah—masih dalam bayangan saya—gereja katolik. Ia terkantuk-kantuk. Bisa jadi bosan dengan rutinitas ini, sampai kemudian Romo menegurnya, demi melihat ada yang tak beres dengan kakinya. “Mengapa Anda tak memakai sepatu. Anda tak sopan di hapan Tuhan,” ujar Romo itu. Remaja itu tergelegap. Seraya mengucek matanya, dan memastikan tidak ada yang salah dengan sandalnya. Dengan tenang ia lalu menjawab. “Bagaimana Romo bisa tahu bahwa Tuhan lebih suka sepatu daripada sandal?” Saya kemudian membayangkan wajah Romo itu merah padam. Atau karena kuasanya menasehati si Remaja, yang calon pastor itu, tentang ayat-ayat Tuhan—mungkin tentang sepatu (kalau ada). Remaja itu kemudian kita kenal sebagai Ignas Kleden, salah seorang intelektual yang dimiliki bangsa ini. Ia gagal menjadi seorang pastur, karena beranggapan tak pandai dalam berkhotbah. Potongan biografinya tersebut bisa dibaca di Pusat Data dan Analisa Tempo (klik:www.pdat.co.id tekan tombol search dan masukkan kata kunci: Ignas Kleden). Bisa jadi ini cuma kenakalan seorang remaja yang cerdas—kritis. Yang konon kata orang sedang mencari eksitensi diri. Tapi ini juga saya kira kritik bagi umat beragama lain—atau cara kita beragama—, seperti saya yang Islam (karena kebetulan orang tua saya Islam) misalnya, ketika lebih menonjolkan sisi-sisi tampak luar saja—permukaan—dalam beragama. Contohnya saja bagaimana seorang Bupati di Aceh Barat menghabiskan uang jutaan rupiah membeli rok demi menerapkan syariat ; perempuan di Aceh Barat harus pakai rok—bukan jeans atau celana panjang. Baginya, “Rok lebih baik daripada celana!” Terus apakah seorang yang memakai rok punya jaminan berprilaku baik? Menjadi shaleha? Apakah seorang yang memakai celana kemudian mestilah seorang yang suka melakukan maksiat? “Tak ada jaminan, Tho!?” Ya, ternyata praktik keberagamaan kita lebih banyak yang palsu belaka. Keshalehan kita diukur dari baju yang kita pakai. Atau penutup kepala yang kita gunakan—bukan dari apa yang telah perbuat untuk kemanusiaan, apa yang telah kita sumbangkan, bagaimana keikhlasan kita menghadap Tuhan, dlsb. Kalau memakai baju koko dan berkopiah bagi laki-laki dan berkerudung bagi perempuan maka muslim dan muslimahlah sudah dia. (padahal pakaian-pakaian dan mode-mode itu telah digunakan kaum pemodal untuk meraup untung sebesar-besarnya).Terlebih kalau memakai sorban dan berjanggut pula, bisa jadi dipanggil “Tuan guru!” Akh, saya yakin Tuhan tidak lebih suka sepatu daripada sandal! [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun