Siapa sih yang tidak kenal aplikasi TikTok? Bagi kalangan Gen Z, TikTok bukan lagi hal asing. Aplikasi ini seolah sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Hampir setiap orang memiliki TikTok di gawai mereka. Tak jarang, seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk scrolling video. Apalagi sekarang, TikTok menghadirkan fitur streak api bersama teman, yang mendorong penggunanya untuk membuka aplikasi setiap hari agar "api" tersebut tidak padam.
TikTok menawarkan berbagai jenis konten. Mulai dari video hiburan, tutorial, informasi terkini, tren viral, hingga konten edukatif yang bermanfaat. Keunikan platform ini membuat siapa saja bisa menjadi kreator. Tak perlu menjadi selebritas terkenal, siapa pun bisa membagikan video mereka dan berpotensi dilihat ribuan bahkan jutaan orang. Hal ini tentu menjadi daya tarik besar, terutama bagi anak muda. Namun, di balik semua keseruan itu, ada satu sisi gelap yang sering luput dari perhatian yaitu bullying di kolom komentar.
Kolom komentar TikTok memang menjadi ruang bebas bagi siapa saja untuk berpendapat. Jika kontennya lucu atau menghibur, komentar-komentar yang muncul biasanya ringan dan mengundang tawa. Namun, jika kontennya berbeda dari ekspektasi penonton atau menimbulkan perbedaan pendapat, kolom komentar sering kali berubah menjadi arena perdebatan sengit. Lebih parah lagi, bukan hanya isi kontennya yang dikomentari, tetapi pribadi si pembuat konten pun sering menjadi sasaran serangan.
Bentuknya bisa beragam, mulai dari komentar merendahkan, ejekan fisik, perbandingan tidak pantas, hingga ujaran kebencian. Banyak orang dengan mudahnya menuliskan kalimat menyakitkan seolah-olah tidak ada konsekuensi. Padahal, di balik layar ponsel itu ada manusia nyata yang membaca. Banyak kreator yang mengalami tekanan mental bahkan trauma akibat serangan komentar negatif yang terus-menerus. Fenomena ini menunjukkan betapa sebagian pengguna media sosial masih kurang memiliki empati.
Mirisnya, banyak pelaku cyberbullying merasa bahwa komentarnya hanyalah "candaan" atau "pendapat pribadi". Padahal, tidak semua orang memiliki ketahanan mental yang sama. Satu komentar jahat saja bisa membekas lama dan membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri. Tak sedikit pula kasus di mana korban perundungan di dunia maya memilih untuk menutup akun atau menarik diri dari media sosial. Dalam beberapa kasus ekstrem, hal ini bahkan berdampak serius pada kesehatan mental.
Sebagai pengguna media sosial, khususnya TikTok, kita seharusnya belajar untuk lebih berhati-hati. Kebebasan berpendapat tidak boleh dijadikan alasan untuk merendahkan atau menyakiti orang lain. Mengomentari konten boleh saja, tetapi harus tetap memperhatikan etika. Jika tidak suka dengan suatu konten, kita selalu punya pilihan untuk menggulirkan layar ke atas tanpa perlu menuliskan komentar buruk.
Bijak dalam berkomentar adalah bentuk tanggung jawab digital. Apa yang kita tulis di dunia maya mencerminkan kepribadian kita di dunia nyata. Kalimat yang kita ketik bisa saja kembali kepada kita dalam bentuk yang tidak terduga. Karena itu, penting untuk berpikir dua kali sebelum mengirim komentar. Ingat, lebih baik diam daripada menyakiti.
Di era digital seperti sekarang, membangun ruang media sosial yang sehat adalah tanggung jawab bersama. Jika setiap pengguna mau menahan diri untuk tidak melakukan perundungan, maka TikTok dan platform lainnya bisa menjadi tempat yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Dunia maya seharusnya menjadi ruang berbagi, bukan ruang menyakiti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI