Mohon tunggu...
Jelajahpedia
Jelajahpedia Mohon Tunggu... Mijelajah Tour Consultant

Teman jelajah yang menghadirkan cerita travel, kuliner, dan budaya dengan bahasa hangat nan orisinil, mengundang Anda untuk menapaki langkah, mencicip rasa, dan menyelami kisah di balik setiap destinasi—sebab kami percaya, hidup terlalu singkat untuk menua tanpa cerita.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Slogan Hijau, Realita Kelabu: Hipokrisi Pariwisata di World Tourism Day 2025

29 September 2025   01:18 Diperbarui: 29 September 2025   01:18 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap 27 September, dunia serentak bertepuk tangan. UNWTO mengibarkan slogan, para pejabat melantunkan pidato, dan media ramai memberitakan Hari Pariwisata Sedunia.

Melansir dari Travel and Tour World, tahun ini temanya lagi-lagi indah dan nyaris religius, yaitu  "Pariwisata dan Transformasi Berkelanjutan". Kata 'berkelanjutan' menjadi mantra sakti, dengan mengucapkannya, semua masalah seolah sirna. Air bersih kembali melimpah, sampah plastik menghilang, dan budaya lokal tetap lestari meski dipentaskan tiga kali sehari untuk turis.

Ah, alangkah indah dunia jika semua benar begitu.

Tapi mari turun sebentar dari menara gading retorika internasional, menengok sebuah pulau kecil yang sudah lama jadi ikon pariwisata global: Bali. Pulau ini sering dipromosikan sebagai surga dunia, lengkap dengan sawah bertingkat, pura kuno, pantai tropis, dan masyarakat yang ramah.

Sayangnya, surga itu perlahan retak, berubah menjadi ironi. Bali kini adalah contoh paling gamblang bagaimana pariwisata bisa jadi mesin yang bukan hanya mencetak devisa, tetapi juga menggerus ekologi, budaya, dan manusia yang tinggal di dalamnya. Tepat sekali, mass tourism.

Ekologi yang Diperas, Alam yang Dihisap

Bali pernah dipuja karena sistem subak atau irigasi tradisional yang menghidupi sawah-sawah hijau, simbol harmoni antara manusia dan alam. Namun kini, sawah-sawah itu makin sulit ditemukan karena digantikan oleh vila, resort, dan beach club.

Di Ubud, panorama hijau yang dulu menenangkan kini lebih banyak dihiasi papan selfie spot dan villa yang menjual pemandangan sawah dengan harga ribuan dolar per malam.

Krisis air pun menghantam. Ironis sekali. Sebuah pulau kecil yang dikelilingi laut justru kekurangan air bersih. Alasannya sederhana, kolam renang hotel dan resort mengisap ribuan liter air, sementara petani di desa kesulitan mengairi sawah.

Maka tidak heran jika lahan pertanian menyusut drastis. Petani pun perlahan menyerah, menjual tanah mereka ke investor. Sawah hilang, vila tumbuh. Transformasi yang berkelanjutan? Tentu saja, berkelanjutan bagi industri pariwisata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun