Panggung kontestasi anak muda Surabaya kembali dibuka. Pemilihan Cak dan Ning Surabaya 2025 resmi digelar. Percaya atau tidak, ratusan anak muda berusia 18-24 tahun sudah berbondong-bondong mendaftarkan diri.
Bukan hanya dengan senyum 32 gigi yang dilatih di depan cermin, atau busana tradisional yang disetrika sampai berkilau, mereka datang dengan sesuatu yang lebih berat, yaitu gagasan segar tentang bagaimana caranya pariwisata Surabaya tidak lagi sekadar menjadi bumbu pidato pejabat yang manis di panggung, tapi hambar di kenyataan.
Acara ini tentu tidak jatuh dari langit. Ia adalah hasil tangan dingin Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya bersama Paguyuban Cak dan Ning.
Rangkaian acaranya dimulai sejak 19 September 2025, berujung pada klimaks penuh gegap gempita, Grand Final 12 Oktober 2025 di Balai Kota Surabaya, dengan Wali Kota hadir lengkap sebagai penonton utama.
Malam ketika sorotan lampu, senyum kaku di depan kamera, jargon "Duta Pariwisata," dan janji-janji manis tentang masa depan pariwisata akan dilebur jadi satu tontonan megah, atau tergantung sudut pandang, satu ironi.
Tahun ini, temanya terdengar menggugah; "The Soul of Collaboration." Gotong royong, kolaborasi, bahu-membahu, semua kata kunci sakti yang selalu berhasil membuat telinga audiens hangat.
Tapi mari kita jujur sejenak, apakah kolaborasi itu betul-betul hidup di jalanan Surabaya, atau hanya bersemayam manis di panggung grand final?
Tahun ini, salah satu juri, Cak Mijil Priyonggo, turut hadir di kursi pengamat. Ia tahu betul bahwa tiap tahun selalu ada warna baru dari panggung ini. Ada yang segar, ada yang kaku, ada yang klise.
Tetapi menurutnya, justru di situlah pesona sekaligus kelemahan acara ini, ia bisa jadi laboratorium kecil untuk menguji kualitas anak muda, sekaligus cermin rapuh yang memperlihatkan betapa seringnya pariwisata hanya jadi retorika.