Salah satu sesi paling seru adalah Guiding Challenge. Bayangkan, para finalis, dengan persiapan hanya sehari, dipaksa menceritakan sebuah objek wisata Surabaya. Lokasinya? Dirahasiakan hingga detik terakhir.
"Semacam surprise," kata Cak Mijil. Dari sini terlihat siapa yang betul-betul luwes bercerita, siapa yang grogi setengah mati, dan siapa yang berhasil menyulap data mentah menjadi narasi yang menggugah.
Ada yang sukses menghidupkan sejarah lokal dengan gaya interaktif, ada yang kebagian tampil pertama lalu keok karena grogi, ada pula yang mendapat sematan hidden gem lalu menyulapnya jadi tontonan mini penuh energi.
Singkatnya, di sinilah taruhannya: apakah mereka lahir sebagai duta wisata sejati, atau sekadar cosplayer pariwisata yang hapal teori tapi gagap praktik.
Bagi Cak Mijil, esensi Pemilihan Cak dan Ning ada pada prosesnya. Dimulai dari pembibitan, pengasahan, dan keberanian melempar para finalis ke tengah publik. "Kalau mereka hanya dipoles cantik lalu dipajang di panggung, ya selesai sudah. Tapi kalau dilepas, diuji, dikritik, dan dipaksa adaptif, dari situlah figur pemuda yang benar-benar siap jadi corong kota akan lahir," ujarnya.
Ada pula momen sederhana namun berkesan, adalah ketika urutan tampil peserta tidak ditentukan panitia, melainkan lewat hompimpah dan suit. Terdengar sepele, tapi justru di situlah terlihat siapa yang nekat, siapa yang penuh strategi, siapa yang memilih pasrah. Nasib, rupanya, bisa ditentukan secepat gerakan jari.
Namun pertanyaan besarnya tetap menggantung. Setelah lampu sorot padam dan panggung dibongkar, ke mana perginya energi para Cak dan Ning ini? Apakah mereka benar-benar diberi ruang berkolaborasi lintas sektor, atau sekadar muncul setahun sekali sebagai pemanis brosur wisata?
Di sinilah satire menjadi relevan. Cak dan Ning kerap dielu-elukan sebagai Duta Pariwisata Surabaya. Tapi mari sedikit sinis, bukankah lebih sering mereka tampil bak maskot resmi; dipamerkan di acara seremonial, difoto berulang kali, lalu disimpan di arsip media sosial Pemkot?
Kalau turis benar-benar datang ke Surabaya karena senyum beku di baliho atau jargon 'The Soul of Collaboration', mungkin tiket pesawat ke Juanda sudah harus di-pre-order setahun sebelumnya.
Realitanya, pariwisata kota masih jalan di tempat. Surabaya tetap lebih dikenal karena mal dan industrinya, bukan karena pesona yang dikisahkan para duta.