Mohon tunggu...
Jelajahpedia
Jelajahpedia Mohon Tunggu... Writer enthusiast

Menulis karena suka, bukan karena harus. Main kata di waktu luang, nulis biar nggak hilang arah.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Danau Anti-Mainstream Serasa di Swiss yang Bisa Jadi Senjata Pariwisata Indonesia

25 September 2025   23:04 Diperbarui: 25 September 2025   23:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Danau Ranu Regulo yang Terletak di Lumajang Jawa Timur (Sumber://Kompasiana_FaturrohmanWahid)

Bayangkan sebuah permata biru-kehijauan yang dipoles langsung oleh tangan alam, lalu diletakkan di pelukan Gunung Semeru. Tambahkan kabut tipis yang menari-nari di permukaan air, seolah-olah Tuhan sendiri sedang bermain-main dengan filter soft focus.

Itulah Ranu Regulo. Danau di ketinggian 2.100 meter yang berdiri anggun di Desa Ranu Pani, Lumajang. Orang-orang suka menyebutnya sebagai saudara introvert dari Ranu Kumbolo, yang sama-sama cantik, tapi memilih hidup jauh dari sorotan kamera Instagram traveler yang doyan ramai-ramai berpose di tempat yang sama.

Pepohonan cemara berdiri gagah mengelilinginya, bak pagar istana yang melindungi ratu cantik dari dunia luar. Di sini, pagi hari terasa seperti potongan adegan film romantis yang terlalu artistik untuk tidak difoto.

 Matahari menembus kabut dengan cahaya lembut, membuat siapa pun, bahkan fotografer amatir dengan tangan gemetaran mendadak merasa seperti pemenang World Press Photo.

Namun, daya tarik Ranu Regulo tidak berhenti pada panorama. Ia menawarkan luxury of silence atau kemewahan yang sudah langka di era ketika notifikasi WhatsApp Group kantor lebih sering muncul daripada doa sebelum makan.

Tidak ada klakson, tidak ada teriakan kota, hanya bisikan angin dan riak air yang seolah berkata, "Tenanglah, manusia. Dunia tak perlu seburuk itu." Jika ada yang pantas digolongkan sebagai terapi jiwa gratis, maka Ranu Regulo-lah jawabannya. Mungkin bisa dibilang, ini seharusnya ini bisa diklaim BPJS Ketenangan Jiwa.

Aktivitas? Jangan khawatir. Anda bisa mendirikan tenda di tepi danau, menyalakan api unggun, mengobrol dengan teman, atau sekadar merenungi betapa hidup terlalu absurd untuk tidak disyukuri.

Saat malam tiba, kabut turun pelan-pelan seperti tirai teater, menciptakan panggung dramatis untuk introspeksi; kenapa ya, kita terlalu sibuk mengejar dunia, padahal surga kecil ini bisa dinikmati tanpa stres cicilan KPR?

Dan bagi generasi yang hidup demi konten, Ranu Regulo adalah set studio alami. Tidak ada antrean panjang untuk spot foto, tidak ada suara "Cepet dong, gantian!" seperti di destinasi mainstream.

Mau konten dengan nuansa mistis tapi menenangkan? Di sini, bahkan kabut pun rela jadi properti gratis.

Akses menuju lokasi pun relatif bersahabat. Dari Lumajang, cukup melaju ke Desa Ranu Pani, pintu masuk menuju Semeru. Jalannya kadang berbatu, tapi bukankah itu bagian dari drama perjalanan? Anggap saja uji kesetiaan sebelum berjumpa dengan keindahan sejati. Lagi pula, tanpa sedikit perjuangan, apa gunanya cerita perjalanan Anda nanti?

Sekarang mari bicara serius, perihal multiplier effect. Bayangkan turis mancanegara yang biasanya menginap di resort seharga tiket pulang-pergi Jakarta-Tokyo, kali ini tersesat di Ranu Regulo.

Mereka akan membeli jagung bakar di warung lokal, menyewa pemandu desa, memborong kerajinan Lumajang, hingga mungkin pulang sambil mempromosikan destinasi ini ke dunia.

Uang yang selama ini berputar di Bali, bisa singgah sebentar di desa kecil yang tenang ini. Inilah pariwisata yang sesungguhnya, berbagi kesejahteraan, bukan sekadar menjual pemandangan.

Tapi tentu, selalu ada pertanyaan yang bergelayut di kabut. Apakah kita siap? Apakah SDM lokal sudah dibekali bahasa Inggris yang lebih baik dari subtitle film bajakan? Apakah kita bisa menjaga danau ini dari racun plastik, dari kerakusan warung instan, dari nafsu pembangunan yang seringkali lebih cepat menghancurkan ketimbang membangun?

Bandingkan dengan Danau Jenewa di Swiss atau Lake Tekapo di Selandia Baru yang notabene-nya adalah ikon wisata kelas dunia yang fotonya sudah terlalu sering jadi wallpaper laptop.

Indah? Pasti. Tapi juga mahal, penuh antrean, dan kadang lebih mirip Disneyland alam ketimbang ruang kontemplasi. Ranu Regulo? Ia tidak menawarkan gondola kaca atau restoran fine dining dengan harga setara satu bulan gaji. Yang ia tawarkan adalah sesuatu yang lebih tulus, keindahan mentah yang belum tersentuh kerak globalisasi pariwisata.

Ranu Regulo adalah anti-mainstream dari pariwisata dunia. Ia menyuguhkan pemandangan yang bisa menandingi Swiss tanpa harus menggadaikan ginjal. Ia menawarkan ketenangan yang lebih autentik daripada Bali yang kadang terlalu bising, atau Bangkok yang terlalu sibuk. Singkatnya, ini adalah kemewahan yang lahir dari kesunyian.

Namun, jika salah urus, jangan kaget kalau Ranu Regulo hanya akan jadi catatan kaki di buku wisata, "Danau cantik yang dulu pernah indah, sebelum plastik, tambang, dan gengsi pembangunan merenggutnya."

Pilihan ada di tangan kita, apakah ingin menjadikannya Swiss versi otentik yang murah tapi jujur, atau membiarkannya sekadar jadi brosur cantik yang berakhir tragis di tong sampah sejarah pariwisata?

Jadi, sebelum Anda menambah satu lagi centang biru di daftar destinasi, pikirkan baik-baik. Mau sekadar pamer foto, atau betul-betul ingin merasakan Indonesia dalam wujud paling jujur?

Jika jawabannya ya, maka Ranu Regulo sedang menunggu. Dengan kabutnya, dengan ketenangannya, dengan janji multiplier effect yang bisa menghidupi lebih banyak orang daripada sekadar menambah koleksi foto di feed Instagram Anda.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun