Akses menuju lokasi pun relatif bersahabat. Dari Lumajang, cukup melaju ke Desa Ranu Pani, pintu masuk menuju Semeru. Jalannya kadang berbatu, tapi bukankah itu bagian dari drama perjalanan? Anggap saja uji kesetiaan sebelum berjumpa dengan keindahan sejati. Lagi pula, tanpa sedikit perjuangan, apa gunanya cerita perjalanan Anda nanti?
Sekarang mari bicara serius, perihal multiplier effect. Bayangkan turis mancanegara yang biasanya menginap di resort seharga tiket pulang-pergi Jakarta-Tokyo, kali ini tersesat di Ranu Regulo.
Mereka akan membeli jagung bakar di warung lokal, menyewa pemandu desa, memborong kerajinan Lumajang, hingga mungkin pulang sambil mempromosikan destinasi ini ke dunia.
Uang yang selama ini berputar di Bali, bisa singgah sebentar di desa kecil yang tenang ini. Inilah pariwisata yang sesungguhnya, berbagi kesejahteraan, bukan sekadar menjual pemandangan.
Tapi tentu, selalu ada pertanyaan yang bergelayut di kabut. Apakah kita siap? Apakah SDM lokal sudah dibekali bahasa Inggris yang lebih baik dari subtitle film bajakan? Apakah kita bisa menjaga danau ini dari racun plastik, dari kerakusan warung instan, dari nafsu pembangunan yang seringkali lebih cepat menghancurkan ketimbang membangun?
Bandingkan dengan Danau Jenewa di Swiss atau Lake Tekapo di Selandia Baru yang notabene-nya adalah ikon wisata kelas dunia yang fotonya sudah terlalu sering jadi wallpaper laptop.
Indah? Pasti. Tapi juga mahal, penuh antrean, dan kadang lebih mirip Disneyland alam ketimbang ruang kontemplasi. Ranu Regulo? Ia tidak menawarkan gondola kaca atau restoran fine dining dengan harga setara satu bulan gaji. Yang ia tawarkan adalah sesuatu yang lebih tulus, keindahan mentah yang belum tersentuh kerak globalisasi pariwisata.
Ranu Regulo adalah anti-mainstream dari pariwisata dunia. Ia menyuguhkan pemandangan yang bisa menandingi Swiss tanpa harus menggadaikan ginjal. Ia menawarkan ketenangan yang lebih autentik daripada Bali yang kadang terlalu bising, atau Bangkok yang terlalu sibuk. Singkatnya, ini adalah kemewahan yang lahir dari kesunyian.
Namun, jika salah urus, jangan kaget kalau Ranu Regulo hanya akan jadi catatan kaki di buku wisata, "Danau cantik yang dulu pernah indah, sebelum plastik, tambang, dan gengsi pembangunan merenggutnya."
Pilihan ada di tangan kita, apakah ingin menjadikannya Swiss versi otentik yang murah tapi jujur, atau membiarkannya sekadar jadi brosur cantik yang berakhir tragis di tong sampah sejarah pariwisata?
Jadi, sebelum Anda menambah satu lagi centang biru di daftar destinasi, pikirkan baik-baik. Mau sekadar pamer foto, atau betul-betul ingin merasakan Indonesia dalam wujud paling jujur?