Ironisnya, anak-anak muda penuh bakat ini justru berisiko jadi pajangan premium; intelektualnya diasah, public speaking-nya dilatih, tapi setelah itu kembali jadi latar belakang foto pejabat saat butuh kosmetik kolaborasi.
Padahal, kalau serius, ruang kontribusi itu ada. Cak dan Ning bisa membuat tur virtual, mengelola kampanye kreatif, atau bahkan terjun langsung memimpin narasi wisata kota.
Kalau diberi ruang di level nasional bahkan internasional, dampaknya akan nyata bagi pariwisata Surabaya. Tanpa itu, mereka hanya akan jadi ikon tahunan yang hanya cantik di poster, tapi hampa di kontribusi.
Maka, mari kita tunggu apakah tema 'The Soul of Collaboration' tahun ini akan jadi kenyataan atau hanya tagline Instagram.
Surabaya punya modal besar, punya pemuda kreatif, punya panggung megah. Yang dibutuhkan tinggal satu, yakni keberanian mengubah acara ini dari formalitas glamor menjadi ekosistem berkelanjutan.
Karena pariwisata bukan hanya soal busana megah dan bahasa Inggris fasih, tapi tentang bagaimana sebuah kota mampu menjual jiwanya dengan tulus, bukan sekadar menjajakan senyum palsu di balik kamera.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI