Di dunia yang dipenuhi suara notifikasi dan gegap-gempita konten receh TikTok, siapa sangka ada satu sudut di Jawa Timur yang masih memelihara benih sakral zaman purba dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa.
Namanya Yadnya Kasada, sebuah ritual kuno di pelataran Gunung Bromo yang membuat para wisatawan urban terdiam, bukan karena sinyal hilang, tapi karena haru dan getar spiritual yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma mana pun.
Sebagaimana diketahui, Gunung Bromo yang oleh banyak influencer hanya diperlakukan sebagai latar estetis untuk foto siluet matahari terbit sejatinya adalah panggung utama sebuah drama spiritual yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya.
Bukan sekadar hamparan pasir dan sabana memesona, tapi altar terbuka di mana masyarakat Tengger menenun harapan, persembahan, dan kepercayaan kepada para leluhur dalam ritual yang hanya terjadi sekali setahun, dan itu pun harus menunggu kalender lunar.
Yadnya Kasada bukanlah "event budaya" ala brosur pariwisata. Ia adalah bentuk komunikasi antara manusia dan kekuatan kosmis atau antara yang fana dan yang abadi.
Saat ritual dimulai, masyarakat Tengger yang ber-notabene sebagai pewaris sah warisan spiritual ini, berkumpul di Pura Luhur Poten untuk menyucikan persembahan mereka; hasil bumi, ternak kecil, dan doa-doa yang dirangkai dengan ketulusan, bukan demi engagement rate.
Dari lereng hingga bibir kawah Gunung Bromo, warga berjalan kaki membawa sesaji. Lalu, dengan khidmat dan penuh kesadaran spiritual, mereka melemparkannya ke dalam kawah aktif yang seolah menjadi mulut langit.
Jika persembahanmu hilang ditelan kabut dan asap kawah, tandanya para leluhur menerimanya. Jika tidak? Yah, mungkin ini saatnya introspeksi spiritual atau ganti sesaji.
Suasana di sekitar Bromo saat itu lebih sakral dari ruang sidang DPR ketika disorot media. Doa-doa yang dirapalkan bukan sekadar mantra, tapi gugusan keyakinan bahwa dunia ini lebih besar dari sekadar tagihan listrik dan drama politik. Dupa mengepul, pun juga langit menjadi muram, pertanda mistisisme melayang seperti kabut tipis di antara langkah para peziarah.
Yang membuat kagum sekaligus getir, masyarakat Tengger tidak menunggu sponsor dari Dinas Pariwisata, apalagi endorsement artis untuk menggelar upacara ini. Mereka melakukannya karena percaya, dan karena itulah yang diwariskan.Â