Mohon tunggu...
Jeko Spastyono
Jeko Spastyono Mohon Tunggu... Mahasiswa - "Black and White aren't colours. They are just some background. Please, do walk out from them and splash your own dyes. Don't worry about stinting it. Because an artist never worries about tainting the background."

Be crazily LAZY.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Benarkah Orang Kaya Sombong?

10 September 2021   12:06 Diperbarui: 10 September 2021   13:31 2910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang kaya di Indonesia biasanya mendapatkan stigma negatif. Dimana mereka lebih sering untuk dinilai sombong, karena mereka lebih kaya dari yang lain. Lalu apakah benar orang kaya memang sombong? Atau kesombongan ini hanya imajinasi dari yang melihat mereka secara negatif.

Untuk melihat apakah seseorang sombong atau tidak, maka kita perlu untuk melihat kultur dari era dan kultur individual dari orang kaya yang dimaksudnya.

Kultur era yang dimaksudkan disini adalah layaknya Indonesia yang terkenal akan warganya yang murah senyum dimasa lampau. Namun pada masa kini apakah Indonesia masihlah berpopulasi mayoritas murah senyum, saya rasa tidak.

Ada perubahan besar yang terjadi pada penduduk Indonesia, pertama kita mempunyai waktu yang lebih terbatas untuk melakukan senyum dan sapa. Karena untuk senyum dan sapa, maka mereka harus berhenti sejenak untuk menatap dengan jelas dengan siapa mereka berkomunikasi. Namun syarat pemenuhan ini jauh lebih sulit dalam hal praktik, terutama bagi mereka para pekerja.

Kedua masih bersambung dengan alasan pertama, tentang kenapa senyum dan sapa mulai sulit dilakukan oleh pekerja. Yaitu terkait dengan status dari orang luar negeri. Dimana masa lampau orang dari luar negeri hanya datang ke Indonesia untuk melakukan pariwisata saja, namun kini orang dari luar negeri pula mulai berbondong-bondong untuk datang ke Indonesia untuk bekerja. 

Terutama mereka yang gagal untuk mendapatkan kerja di negara asalnya karena persaingan yang sangat ketat. Alhasil kedatangan orang asing bagi pekerja sendiri adalah sebagai rival mereka dalam merebutkan lowongan kerja yang memang sudah mulai sangat terbatas. 

Oleh karena waktu yang sudah bergerak sangat cepat menjadi makin cepat lagi dengan meningkatkanya persaingan. Pada kondisi ini tentunya waktu menjadi komoditi yang terbatas bagi mereka yang ikut dalam persaingan dan mayoritas mereka dapat dikatakan "kaya" di Indonesia.

Maka dari kultur era ini dapat terlihat memang ada pergeseran senyum dan sapa dari rakyat Indonesia. Alhasil tentunya standar yang ditetapkan untuk orang kaya menjadi tidak sombong jauh lebih tinggi dari seharusnya (standar tua yang masih diberlakukan), layaknya susahnya orang Indonesia untuk menerima kedatangan rival dari luar negeri dalam perebutan pekerjaan di Indonesia atau orang Indonesia yang bekerja keras bertarung dengan waktu dan memanfatkan segala kesempatan yang ada disaat yang lain mempunyai waktu yang lebih bebas.

Sirkumstansi antara tiap kubu yang juga sudah mulai berbeda dan bahkan sangat berbeda membuat gerakan dan gestur general dari mereka yang kaya terlihat menjadi sebuah kesombongan dimata dari kubu yang lain.

Setelah melihat dari kultur era, maka kita juga harus melihat kultur individual dari orang dimaksudkan. Jika orang yang dimaksudkan adalah workaholic atau penggila kerja, maka sangat jelas standar dimana orang ini dapat dinilai sebagai orang sombong haruslah diturunkan jauh dari standar nasional tentang kesombongan.

Karena dalam pikiran workaholic semua yang ia lakukan adalah benar, selama waktu deadline tak terlewati dan target tercapai. Hal ini tentunya berbeda dengan jika orang yang dimaksudkan adalah mereka yang bekerja pada waktu jauh lebih santai, layaknya mereka yang bekerja terkait seni. 

Penilaian nasional tentang kesombongan dapat wajar digunakan pada orang kaya golongan ini, karena pada dasarnya mereka jauh santai dalam menghadapi masalah dan lebih mudah untuk melakukan komunikasi yang baik (mencari inspirasi) dibandingkan dengan mereka yang bekerja sebagai pialang saham (dikejar waktu).

Kultur individual juga dapat dilihat dari dengan siapa orang kaya ini berinteraksi. Karena pada dasarnya jika seorang orang kaya ingin sombong dengan orang yang kurang mampu, maka terlebih dahulu harus ada interseksi atau garis pertemuan interaksi diantara keduanya. 

Sehingga jika tak ada interaksi yang terjadi diantara mereka, bukan berarti bahwa orang kaya penuh dengan kesombongan. Karena kesombongan hanya terjadi bila ada interaksi, bila tak ada interaksi yang terjadi keadaan ini bukanlah terjadi karena kesombongan dari pihak si kaya. Namun lebih pada sirkumstansi antara si kaya dan yang kurang kaya memang tidak memiliki perpotongan yang sama, meskipun jika mereka memang bertetangga.

 Sirkumstansi yang berbeda antara keduanya membuat perbedaan pengambilan sikap, gerak, dan gestur anatar mereka berbeda sekalipun jika mereka hidup berdekatan. Layaknya herbivora dan karnivora yang hidup saling berdekatan.  

Namun bukan berarti orang kaya tidak sombong, karena sekali lagi kesombongan hanya dapat terlihat atau terjadi disaat ada interaksi antara kedua belah pihak. oleh karenanya kesombongan yang dipikir oleh pihak lain yang terjadi tanpa interaksi adalah imajinasi dan pengkategorian yang berasal dari rasa kesal, marah, iri ataupun perasaan negatif lainnya dan bukan karena si orang kaya memang secara subjektif sombong.

Untuk pertanyaan atau komplain dari tulisan ini, para pembaca bisa mengkontak penulis melalui kontak sosial media penulis dibawah ini:

FB           : Jeko Spastyono / https://web.facebook.com/virtzen/

Twitter : Jeko Spastyono / https://twitter.com/JelcoST

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun