Politik dan Kepentingan di Balik Angka 10 Persen
Angka "10 persen" itu tampak sederhana, tetapi di baliknya tersimpan kompleksitas hukum, politik, dan ekonomi.
Ada versi yang menyebut pembagian saham 7 persen untuk Kabupaten Mimika dan 3 persen untuk Provinsi Papua. Ada pula versi 5-5. Tak satu pun diatur secara tegas dalam peraturan pemerintah, hanya dituangkan dalam nota kesepahaman internal yang belum disahkan menjadi keputusan hukum yang final.
Ketika Papua dimekarkan, tidak ada klausul transisi saham dalam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan. Akibatnya, saham tersebut menggantung di antara dua entitas: provinsi lama dan provinsi baru.
Ironisnya, masyarakat Mimika yang hidup berdampingan dengan tambang raksasa itu justru hanya menjadi penonton.
Freeport dan Keadilan yang Belum Menyentuh Rakyat
Meski nilai kontribusi Freeport untuk Papua Tengah disebut mencapai Rp11 triliun pada 2024, sebagian besar dana itu masih masuk ke kas pusat dan perusahaan induk. Sementara masyarakat lokal belum merasakan dampak nyata berupa pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang berkeadilan.
Di distrik-distrik sekitar Tembagapura, anak-anak masih menulis di atas meja reyot, dan banyak honai masih berdinding ilalang. Ironisnya, setiap hari ribuan ton bijih emas dan tembaga diangkut keluar dari tanah mereka.
Saham yang seharusnya menjadi simbol kemandirian, berubah menjadi simbol ketimpangan baru.
Otonomi Khusus Harus Berarti Keadilan Ekonomi
Otonomi Khusus Papua tidak boleh berhenti pada angka transfer dana dari APBN. Ia harus berarti redistribusi kekayaan secara nyata.