Sejak tahun 2001, Papua menerima aliran dana Otonomi Khusus (Otsus) yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah. Namun, ironi yang muncul adalah kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP) belum berbanding lurus dengan besarnya dana yang digelontorkan. Indeks kemiskinan tetap tinggi, akses pendidikan dan kesehatan masih timpang, serta pembangunan infrastruktur belum sepenuhnya merata. Dalam konteks inilah, Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) hadir sebagai instrumen baru negara untuk mengawal, mengawasi, sekaligus mengevaluasi dana Otsus agar tepat sasaran.
Dana Besar, Hasil Kecil
Selama lebih dari dua dekade, banyak pihak mempertanyakan efektivitas Otsus. Jika ditotal, lebih dari Rp 1.000 triliun dana pusat sudah digelontorkan ke Tanah Papua, baik dalam bentuk dana transfer umum, dana infrastruktur, maupun dana Otsus. Namun, data BPS menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Papua masih di atas 26% pada 2024, jauh lebih tinggi dibanding rata-rata nasional 9,4%. Begitu pula dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih menempati peringkat terbawah.
Dana Otsus seharusnya menjadi bahan bakar percepatan pembangunan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: realisasi anggaran sering rendah, dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) menumpuk. Kondisi ini menandakan adanya masalah serius dalam tata kelola, mulai dari perencanaan yang lemah, SDM aparatur yang terbatas, hingga rendahnya integritas dalam pengelolaan keuangan daerah.
Mandat BP3OKP
BP3OKP dibentuk melalui UU No. 2 Tahun 2021 dan diperkuat dengan Perpres No. 121 Tahun 2022. Mandatnya jelas: mengarahkan, menyelaraskan, mengendalikan, dan mengevaluasi program pembangunan Papua yang bersumber dari Dana Otsus. Lembaga ini bukan pelaksana teknis proyek, melainkan pengawas strategis yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Ada tiga fungsi utama BP3OKP:
1. Koordinasi dan Pengawasan menyatukan arah kebijakan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
2. Evaluasi Penggunaan Dana menilai efektivitas, efisiensi, dan transparansi belanja Otsus.
3. Pelaporan ke Pemerintah Pusat memberi rekomendasi berbasis data dan fakta mengenai kendala serta solusi percepatan pembangunan.
Jika dijalankan dengan benar, BP3OKP bisa menjadi "mata elang" yang mampu melihat persoalan di lapangan sekaligus menjadi pengingat bagi pemerintah daerah agar serius menggunakan dana Otsus sesuai tujuan awalnya.
Masalah Serapan dan SILPA
Hingga pertengahan 2025, BP3OKP menyoroti rendahnya serapan dana Otsus di sejumlah provinsi di Papua. Banyak program tidak berjalan sesuai jadwal, bahkan ada anggaran yang tidak terpakai. Akibatnya, SILPA di beberapa daerah mencapai angka fantastis. Padahal, SILPA yang terlalu tinggi menunjukkan kegagalan birokrasi dalam menjalankan fungsi belanja publik.
Fenomena ini ironis: di satu sisi, rakyat Papua masih banyak yang hidup miskin dan kesulitan mengakses layanan dasar, sementara di sisi lain, uang yang seharusnya digunakan justru "diparkir" dalam kas daerah. Ketika dana yang besar tidak berhasil dikonversi menjadi layanan publik, maka tujuan Otsus jelas melenceng.
Transparansi sebagai Ujian
Di sinilah transparansi dan akuntabilitas menjadi kata kunci. Selama ini, laporan penggunaan dana Otsus seringkali tertutup, sulit diakses, bahkan tidak jarang membingungkan. Publik di Papua, termasuk masyarakat sipil dan akademisi, seharusnya bisa ikut mengawasi penggunaan dana tersebut.
BP3OKP perlu mendorong model tata kelola berbasis data terbuka (open data). Artinya, setiap rupiah Otsus harus bisa dilacak: berapa yang masuk, untuk apa digunakan, siapa penerima manfaatnya, dan apa dampaknya. Tanpa keterbukaan, Otsus hanya akan menjadi "proyek elit birokrasi" yang jauh dari rakyat.
Mengembalikan Esensi Otsus
Pada awalnya, Otsus lahir sebagai bentuk pengakuan negara atas kekhususan Papua. Dana yang besar diberikan dengan harapan bisa menjawab kesenjangan pembangunan, memperkuat hak-hak dasar OAP, serta memperbaiki hubungan negara dengan masyarakat Papua. Namun, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, Otsus bisa kehilangan esensinya.
BP3OKP perlu berani bersuara tegas kepada pemerintah daerah yang lalai dalam menyusun program, maupun kementerian teknis yang gagal berkoordinasi. Lebih jauh lagi, BP3OKP harus memastikan bahwa sektor prioritas---pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi OAP, dan infrastruktur dasar---mendapat porsi terbesar dari Dana Otsus, bukan hanya habis untuk belanja birokrasi.
Penutup
Keberadaan BP3OKP adalah momentum penting untuk membuktikan bahwa Otsus Papua bukan sekadar angka dalam APBN, melainkan instrumen nyata untuk menyejahterakan rakyat Papua. Ujian terberat BP3OKP bukan hanya bagaimana membuat laporan kepada Presiden, tetapi bagaimana memastikan setiap kebijakan benar-benar menurunkan angka kemiskinan, meningkatkan IPM, serta membuka ruang partisipasi yang luas bagi Orang Asli Papua.
Jika BP3OKP mampu melewati ujian transparansi ini, maka Otsus akan benar-benar bermakna. Namun, bila gagal, ia hanya akan menambah daftar panjang lembaga yang ada tetapi tak berdaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI