Pemekaran wilayah di Papua melalui kebijakan Daerah Otonom Baru (DOB) kerap menimbulkan perdebatan panjang. Apakah DOB merupakan solusi untuk mempercepat pembangunan dan mendekatkan pelayanan publik? Ataukah hanya proyek politik yang memperlebar birokrasi tanpa menyentuh akar persoalan masyarakat? Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita menengok salah satu referensi akademik sekaligus praktik lapangan yang tertuang dalam buku "Manajemen Pemerintahan Daerah Otonom Baru: Praktik Baik Pemerintahan di Kabupaten Puncak, Papua" karya Bambang Purwoko. Buku ini mengingatkan kita bahwa sukses atau gagalnya DOB tidak ditentukan oleh jumlah daerah baru yang dibentuk, melainkan oleh kualitas manajemen pemerintahan yang dijalankan.
DOB antara Politik dan Pembangunan
Sejak era reformasi, pemekaran wilayah menjadi salah satu strategi negara untuk mengatasi ketimpangan pembangunan. Papua menjadi wilayah yang paling banyak mengalami DOB, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Argumennya sederhana: wilayah yang luas, infrastruktur terbatas, serta kondisi sosial-budaya yang beragam menuntut adanya pendekatan yang lebih dekat dan kontekstual.
Namun, dalam praktiknya, DOB sering kali lebih sarat muatan politik ketimbang pembangunan. Di banyak tempat, pemekaran justru menghasilkan konflik elite lokal, perebutan jabatan birokrasi, hingga tumpang tindih regulasi. Bagi masyarakat kecil, janji mendekatkan pelayanan publik tidak selalu terasa nyata.
Kondisi ini membuat DOB sering dipandang sebagai proyek negara yang setengah hati. Padahal, esensi otonomi daerah adalah menghadirkan negara dalam jarak yang lebih dekat dengan rakyat. Bila DOB gagal menghadirkan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan sosial---maka ia hanya menambah daftar panjang problem birokrasi tanpa manfaat signifikan.
Belajar dari Kabupaten Puncak
Di tengah pesimisme terhadap DOB, hadirnya praktik baik di Kabupaten Puncak sebagaimana ditulis Bambang Purwoko memberi harapan. Kabupaten Puncak yang lahir dari pemekaran Kabupaten Puncak Jaya, menghadapi tantangan geografis luar biasa: wilayah pegunungan, akses transportasi terbatas, dan infrastruktur dasar yang minim. Namun, pemerintah daerah setempat menunjukkan upaya manajemen pemerintahan yang berbeda.
Buku ini menyoroti bagaimana tata kelola pemerintahan dijalankan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat, penguatan birokrasi lokal, serta upaya adaptasi dengan kearifan lokal. Praktik ini bukan sekadar teori, tetapi pengalaman nyata yang dapat ditularkan ke daerah lain.
Misalnya, kebijakan pembangunan berbasis kebutuhan masyarakat kampung yang diputuskan secara partisipatif. Program kesehatan dan pendidikan yang meski sederhana, tetapi mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat setempat. Transparansi anggaran juga menjadi catatan penting, karena di banyak daerah, dana pemekaran justru rawan diselewengkan.
Dari Puncak kita belajar, bahwa DOB tidak otomatis gagal. Dengan manajemen pemerintahan yang tepat, DOB justru bisa menjadi laboratorium kebijakan publik yang relevan bagi konteks Papua.