Retorika vs. Realitas
Sudah lebih dari dua dekade, rakyat Papua akrab dengan janji pembangunan dan Otonomi Khusus. Pemerintah pusat maupun daerah sering meyakinkan publik dengan kata-kata manis: Papua akan maju, Orang Asli Papua (OAP) sejahtera, dan subsidi tepat sasaran. Namun, kenyataan di kampung, pasar, dan jalan raya berbeda jauh. Di Papua Pegunungan, harga semen masih Rp 500 ribu per sak. Di Papua Selatan, masyarakat adat kehilangan tanah untuk investasi besar tanpa kepastian penghidupan. Di Papua Barat Daya, nelayan OAP sulit menjual hasil tangkapan karena akses pasar terbatas. Semua itu menunjukkan betapa jauh jarak antara retorika politik dengan realitas sosial-ekonomi di tanah Papua.
Dalam teori komunikasi politik, retorika adalah alat legitimasi kekuasaan (Habermas, 1984). Pemimpin memakai bahasa sederhana untuk menarik dukungan rakyat. Tetapi di Papua, retorika lebih sering menjadi topeng ketidakmampuan menghadirkan kebijakan yang efektif. Retorika subsidi BBM murah, misalnya, tidak sesuai realitas: di Yahukimo bensin bisa Rp 50 ribu per liter. Retorika Otsus untuk OAP juga berlawanan dengan data: BPS 2024 mencatat kemiskinan OAP masih sekitar 27--30 persen, tiga kali lipat lebih tinggi dari rata-rata nasional. Retorika pertumbuhan ekonomi Papua tinggi pun menipu, karena didorong sektor tambang, bukan sektor yang digeluti OAP.
Carut-Marut Ekonomi OAP
Ekonom Amartya Sen (1999) menekankan bahwa kesejahteraan bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kapabilitas manusia: akses pendidikan, kesehatan, dan kesempatan. Fakta di Papua justru menunjukkan sebaliknya. Di Papua Tengah, banyak keluarga OAP hidup dengan penghasilan di bawah Rp 500 ribu per bulan. Di Papua Barat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) OAP masih jauh tertinggal dibandingkan non-OAP. Di Papua Selatan, masyarakat adat Marind menghadapi ketimpangan lahan akibat ekspansi perkebunan.
Ini memperlihatkan bahwa kemiskinan OAP bukan karena malas, melainkan karena struktur ekonomi-politik yang tidak berpihak. Kebijakan pembangunan lebih banyak memberi ruang kepada modal besar daripada ekonomi lokal. OAP terjebak menjadi penonton di atas tanah kaya raya yang diwarisi leluhurnya.
Otsus: Dana Besar, Hasil Kecil
Otonomi Khusus yang digulirkan sejak 2001 membawa janji besar. Triliunan rupiah mengalir setiap tahun dengan retorika mengangkat harkat OAP. Namun, berbagai studi (Widjojo, 2010; BPS, 2023) menunjukkan dampaknya minim. Pertama, dana lebih banyak terserap untuk belanja aparatur ketimbang belanja publik. Kedua, tidak ada basis data OAP yang valid, sehingga penerima manfaat tidak jelas. Ketiga, transparansi rendah: masyarakat sulit mengetahui berapa dana yang turun dan digunakan untuk apa.
Akibatnya, Otsus lebih banyak dimaknai sebagai proyek elit birokrasi daripada instrumen keadilan sosial. OAP di kampung tetap miskin, sementara retorika pembangunan terus diperdengarkan di ruang-ruang rapat resmi.
Risiko Retorika Kosong