Pada 27 Agustus 2025, Kota Sorong di landa kerusuhan besar-besaran yang di picu oleh penolakan pemindahan empat tahanan politik (tapol) anggota NFRPB dari Sorong ke Makassar untuk menjalani persidangan. Kejadian ini menandai kemunculan kembali ketegangan struktural yang berakar pada sejarah Pepera 1969 dan ketidakpuasan publik terhadap ketidakadilan sistemik. Kegagalan aparat keamanan dalam mengantisipasi dan mencegah eskalasi konflik menjadi pertanyaan serius. Kerusuhan mengakibatkan kerusakan parah pada sejumlah fasilitas publik dan swasta, termasuk kediaman Gubernur, kantor pengadilan, dan rumah jaksa, serta melukai beberapa warga sipil.
Sudut pandang  Strategis Kerusuhan di Sorong: Konflik Struktural, Dampak, dan Rekomendasi Kebijakan dalam Perspektif Teori dan Komparasi Global" menganalisis kerusuhan di Sorong, Indonesia, tanggal 27 Agustus 2025, yang di picu oleh pemindahan empat tahanan politik Papua ke Makassar untuk di adili. Penulis berpendapat bahwa kerusuhan tersebut bukan peristiwa spontan, melainkan puncak dari akumulasi ketidakpuasan struktural yang telah berlangsung lama, berakar dari Pepera 1969 yang kontroversial dan masalah ketidakadilan sistemik, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap masyarakat Papua.
Analisis ini menggunakan beberapa kerangka teoritis, termasuk teori kekerasan struktural Galtung, teori kekerasan kolektif Tilly, teori deprivasi relatif Gurr, teori desentralisasi fiskal Bird & Vaillancourt, teori politik identitas Bertrand, dan teori keadilan prosedural. Ia meneliti konflik melalui lensa struktural (ketimpangan ekonomi, distribusi dana otonomi khusus, akses layanan dasar, representasi politik), prosedural (proses hukum, transparansi penegakan hukum, mekanisme penyelesaian konflik), dan kultural (klaim identitas, hak adat, narasi sejarah).
 Pandangan tersebut menyoroti korelasi signifikan antara persepsi ketidakadilan hukum dan dukungan terhadap kemerdekaan Papua, di dukung oleh analisis SPSS. Analisis komparatif dengan Timor Leste, Sudan Selatan, dan Irlandia Utara menunjukkan bahwa pendekatan represif dan sentralistik tidak efektif, sementara pengakuan identitas lokal dan dialog inklusif terbukti lebih berhasil.
Temuan utama meliputi: persepsi meluas tentang ketidakadilan dalam sistem hukum; ketimpangan ekonomi dan sosial yang signifikan; kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum; dan kegagalan Undang-Undang Otonomi Khusus dalam menjawab aspirasi Papua.
Penulis merekomendasikan beberapa perubahan kebijakan: reformasi sistem hukum dan penghentian praktik diskriminatif (termasuk penghentian pemindahan tahanan politik tanpa konsultasi publik dan pembentukan pengadilan HAM khusus di Papua); desentralisasi fiskal yang berkeadilan; dialog inklusif dan multikultural; dan penguatan lembaga pemantau independen (termasuk pembentukan Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi Papua dan melibatkan lembaga internasional seperti UNDP dan OHCHR dalam pemantauan).
Kesimpulan keseluruhan menekankan perlunya pendekatan holistik yang mengatasi ketimpangan ekonomi, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum, dan mempertimbangkan dimensi kultural dan historis konflik untuk mencapai perdamaian dan keadilan yang langgeng di Papua. Metodologi yang di gunakan adalah pendekatan campuran (mixed-methods), menggabungkan data kuantitatif (analisis SPSS persepsi publik) dan data kualitatif (analisis dokumen dari organisasi internasional seperti Human Rights Watch dan International Crisis Group).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI