Mohon tunggu...
Jemi Kudiai
Jemi Kudiai Mohon Tunggu... Pemerhati Governace, Ekopol, Sosbud

Menulis berbagi cerita tentang sosial, politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Irigasi Permanen yang Terabaikan, Lumbung Pangan Nabire Mati Suri

23 Agustus 2025   08:45 Diperbarui: 23 Agustus 2025   08:52 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Irigasi SP 3 Nabire , jk.doc

Air adalah nyawa, sawah adalah kehidupan, dan pangan adalah dasar dari kesejahteraan. Jika ini terus diabaikan, Nabire hanya akan menjadi penonton dalam urusan pangan, sementara ketergantungan pada daerah lain semakin kuat.

Ketahanan pangan selalu disebut sebagai salah satu pilar penting pembangunan bangsa. Pemerintah pusat maupun daerah sering menggaungkan jargon "swasembada pangan" dan "kemandirian pangan." Namun, realitas di lapangan justru jauh dari slogan. Salah satu contoh paling nyata dapat kita temukan di Provinsi Papua Tengah, Kabupaten Nabire, khususnya di kawasan SP 1, SP 2, dan SP 3 Nabire Barat.Di daerah ini, terdapat jaringan irigasi permanen yang sejak awal dirancang untuk menopang pertanian padi. Lahan sawah dibuka luas, transmigran ditempatkan, dan Nabire sempat digadang-gadang akan menjadi lumbung pangan lokal. Sayangnya, hari ini kita hanya menyaksikan sebuah ironinya irigasi terbengkalai, sawah mengering, dan program besar transmigrasi berubah menjadi kenangan pahit, bangunan rumah berjejer.


Sumber Ketahanan Pangan yang Terabaikan


Jika irigasi permanen ini berfungsi, ratusan hektare sawah di Nabire Barat bisa menghasilkan ribuan ton beras setiap tahun. Hasil itu tidak hanya mencukupi kebutuhan masyarakat Nabire, tetapi juga berkontribusi bagi Papua secara keseluruhan. Dari sisi ekonomi, perputaran uang miliaran rupiah bisa terjadi setiap musim panen. Petani mendapat penghasilan layak, harga beras lebih stabil, dan pasar lokal tidak tergantung pada pasokan dari luar daerah.


Dengan kata lain, irigasi permanen di Nabire Barat seharusnya menjadi sumber ketahanan pangan sekaligus sumber ekonomi. Namun, karena dibiarkan rusak tanpa perawatan, potensi besar itu hilang begitu saja. Masih bisa di fungsikan hanya separoh SP 1, selain itu akan menjadi tanah kering, dan lahan akan hilang begiti saja.


Pemerintah Nabire Minim Pro Pangan


Kegagalan irigasi permanen ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah minim keberpihakan pada pangan. Anggaran kerap diarahkan pada pembangunan gedung-gedung baru, kantor pemerintahan, atau proyek infrastruktur lain yang tidak langsung berdampak pada dapur masyarakat. Sementara itu, sawah yang mestinya menjadi urat nadi pangan malah dibiarkan terlantar.


Pertanyaan kritis pun muncul, apa gunanya bangunan megah jika rakyat kesulitan membeli beras? Pangan seharusnya menjadi prioritas utama, karena tanpa pangan, pembangunan sebesar apa pun akan kehilangan maknanya.


Saluran Irigasi Lancar, Sawah Tetap Terabaikan


Yang lebih ironis, sebagian saluran irigasi sebenarnya masih bisa difungsikan dengan sedikit perbaikan. Namun, lahan sawah tetap terabaikan karena tidak ada program terpadu untuk menghidupkan kembali pertanian padi. Alih-alih memanfaatkan infrastruktur yang ada, lahan sawah banyak beralih fungsi menjadi kebun campuran atau dibiarkan kosong. Ini adalah bukti nyata ketidak mampuan pemerintah mengelola program jangka panjang.


Masyarakat di SP Nabire Barat sebenarnya tidak kekurangan semangat. Banyak petani yang ingin menggarap sawah, tetapi tanpa air, usaha mereka sia-sia. Kesadaran warga untuk menjaga pangan lokal ada, namun mereka terkendala sarana dan biaya. Kemandirian pangan akhirnya gagal, bukan karena warga malas, tetapi karena dukungan struktural dari pemerintah tidak ada.


Dampak Ekonomi dan Sosial


Situasi ini jelas bertolak belakang dengan semangat kemandirian pangan yang selalu digaungkan. Dampak dari irigasi permanen yang terbengkalai sangat luas. Serti ekonomi masyarakat merosot petani kehilangan sumber pendapatan utama. Ketergantungan pada beras luar daerah meningkat Harga beras di pasar menjadi lebih mahal dan fluktuatif. Ketahanan pangan lokal rapuh Nabire rentan terhadap krisis pasokan pangan. Alih fungsi lahan Sawah berubah menjadi kebun atau dibiarkan tidak produktif. pertanyaan mendasar adalah mengapa Membiarkan Bangunan merajalela, Persawahan di abaikan?.


Ironi besar pembangunan di Nabire adalah ketika pemerintah lebih rajin membangun gedung baru daripada memperbaiki saluran air yang bisa menghidupi ribuan orang. Pembangunan fisik seperti kantor dan fasilitas publik memang penting. Namun, membiarkan sawah mati sama saja dengan membangun rumah tanpa dapur. Oleh sebab itu pembangunan akan hampa jika kebutuhan dasar rakyat tidak terpenuhi.


Perluh ada solusi keberlanjutan dan Solusi Menghidupkan Kembali Irigasi dan Sawah di wilayah ini, Nabire masih punya kesempatan memperbaiki keadaan. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, antara lain : pertama, perbaikan jaringan irigasi permanen secara bertahap, dimulai dari saluran utama yang rusak. Kedua, program pendampingan petani dengan penyuluhan, bibit, dan pupuk. ketiga, Pengelolaan partisipatif libatkan masyarakat dalam menjaga saluran irigasi agar berkelanjutan. Keempat, Fokus anggaran pada pangan alihkan sebagian dana infrastruktur ke sektor pertanian yang lebih menyentuh rakyat kecil. Kelima, Monitoring jangka panjang agar irigasi tidak hanya diperbaiki sesaat, tetapi benar-benar dijaga konsistensinya.


Irigasi permanen di SP Nabire Barat adalah simbol harapan yang kini berubah menjadi simbol kekecewaan. Infrastruktur yang seharusnya menopang ketahanan pangan justru terbengkalai. Pemerintah terlihat minim pro pangan, sementara masyarakat dibiarkan kehilangan arah.


Saatnya pemerintah kembali menoleh ke akar kebutuhan rakyat. Bukan sekadar membangun gedung megah, tetapi memastikan air mengalir ke sawah, beras tersedia di meja, dan petani sejahtera di kampungnya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun