Malang 21/03/2017. Trotoar merupakan salah satu fasilisitas yang diperuntukan untuk hak pejalan kaki yang tertera dalam pasal 131 ayat (1) UU LLAJ. Namun monarki penguasa pedestrian sudah menjadi budaya yang sulit tergerus masa, sehingga membuat para pejalan kaki resah.
Sepetinya tidak hanya para politisi saja yang bisa di cap koruptor , namun para penguasa trotoar juga layak untuk mendapatkannya. Mereka seolah membayar pajak untuk melanggar Undang-undang yang tidak terlepas dari kepentingan para pembisnis. Bu yuyun seorang pemilik warung yang membuka usaha mulai dari tahun 1996 mengaku “memang sering ada penertiban lalu lintas dan beberapa pedagang lainnya sudah tergusur, tapi saya sudah dapet izin kok, wong tiap tahun saya bayar pajaknya” tutur nya.
Sering kali kegiatan pedagang kaki lima di dukung oleh para oknum perusahaan yang sengaja menjajalkan produk nya dalam ‘selimut membayar pajak’, kemudian menggunakan trotoar tanpa mengindahkan peraturan yang sudah di sepakati. Sebagian pengguna jalan ada yang merasa terganggu , namun adapula yang berusaha memahami seperti halnya azmir “saya tidak terlalu peduli, selagi saya masih bisa lewat, karna mereka juga mencari nafkah di sini(trotoar)”. Atas alasan mencari nafkah , apakah hak pejalan kaki memang seharusnya diambil para penguasa pedestrian?
Mana penegakan hukum yang tegas di negri ini ?