Aku pernah berbicara dengan salah satu pedagang syomai keliling di semarag, umurnya seumuranku. Kita berbincang asik. saat itu ia bercerita, tentang kehidupan ekonominya, Ia merasa bangga bisa menghidupi keluarga kecilnya yang baru di bina 3 tahun ini dan sudah dikaruniai 1anak.
Ia bercerita dengan santai, tanpa beban. seperti berbicara dengan teman yang sudah ia kenal lama. Padahal aku sendiri dari Jakarta hanya kebetulan saja singgah di semarang sehabis dari Demak.
Satu hal yang menarik ketika, arah pembicaraan kita beruda mengarah pada suasana pilpres. Ia menyinggung tetang orang-orang yang dianggapnya berpendidikan, yang menjadi tokoh di Indonesia tapi sama sekali tidak memberikan pendidikan kepada rakyat. justru mereka menjadi biang keladi segala sumpah serapah yang kian marak di media sosial. wah Dia sangat kritis gumamku.
Ia berbicara tentang harapan, tapi yang aku rasakan Ia tidak menghakimi, calon presiden itu, hanya menitipkan harapan. ini sangat berbeda dengan media sosial dimana semua serba menjadi ajang hujat. padhal harpan disampaikan bisa tanpa harus mencaci.
banyak orang mengeluh lampangan pekerjaan, katanya lagi. padahal kalau orang-orang mau sedikit saja mengalahkan gengsinya, banyak sekali pekerjaan di Indonesia.Â
Aku ini ya mas, lanjutnya. mung lususan SMP tapi Alhamdulillah, karena aku cuma lulusan SMP jadi tidak gengsian jadi aku ya cuma berpikir bagaimana aku bisa makan, menghidupi keluarga dangan cara halal. banyak loh mas sarjana nganggur karena tidak tau mau ngapain.Â
deg. hatiku merasa ada yang menampar, aku yang katanya sarjana yang katanya orang pintar, tapi ah sudahlah. hatiku mengeluh.
Aku tau Dia sangat sadar menjalani proses kehidupannya. Ia paham sekali kedudukannya, sehingga ia tidak perlu berangan-angan yang pastinya sudah tidak akan tercapai.Â
Pedagang itu juga tidak perlu mengeluh panjang lebar, hanya karena ia pedagang keliling. Dia bekerja untuk hari ini dan esok hari, menyiapkan bekal untuk anak-anaknya kelak.
bandingkan dengan orang-orang pintar itu, terlalu berpikir Rumit hanya untuk mendapatkan sesuatu yang sederhana.
ah sudah seharusnya aku juga berpikir sederhana, yang penting tersemat rasa syukur atas kehidupan ini. mungkin itu pesan yang pedagang itu hendak sampaikan kepadaku dalam pertemuan singakat itu.